Pendidikan
itu ditujukan untuk kepentingan siapa? Apakah untuk kepentingan anak,
kepentingan orangtua, kepentingan pasar tenaga kerja, atau kepentingan
siapa?
Semua kita hampir selalu menjawab bahwa pendidikan itu untuk
kepentingan anak-anak. Agar mereka bahagia di hari tuanya, agar mereka
terjamin masa depannya, agar mereka berhasil, dan jawaban-jawaban lain
yang semacam itu. Tetapi ketika kita sudah berada di lapangan, terkadang
pertimbangan praktis begitu kuat membelit kita, sadar atau tak sadar.
Dan terkadang kita lupa bertanya kepada anak: Apakah mereka
menginginkannya?Apakah mereka menyukainya?
Sebuah tantangan bagi kita sebagai orangtua dan guru adalah merefleksikan pertanyaan ini dan mencari titik temu antara apa yang kita anggap baik untuk anak-anak dengan pendapat mereka mengenai segala sesuatu yang dijalaninya. Pendidikan memberikan kesempatan untuk menjadikan anak sebagai subyek, bukan sekedar obyek yang harus menyesuaikan diri dengan kurikulum dan sistem yang telah dirancang.
Dengan menjadikan anak sebagai subyek pendidikan, layak bagi kita untuk selalu berada di dalam kesadaran sebagai fasilitator yang menjadikan pendapat anak sebagai sebuah hal penting di dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka.
Sebagaimana dinasihatkan oleh Kahlil Gibran, “anakmu bukanlah anakmu.” Mereka memang lahir melalui kita, tetapi mereka bukan milik kita. Mereka bersama kita, tetapi mereka bukanlah milik kita. Sebab, jiwa-jiwa mereka adalah milik masa depan. Sebab, kehidupan itu menuju ke depan, bukan tenggelam di masa lampau.
Berikut kutipan puisi Kahlil Gibran, “Anakmu bukan Anakmu”:
“Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, karena
jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi
bahkan dalam mimpi sekalipun.
Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah
menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan
tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang melucur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap”.
(Puisi Kahlil Gibran dikutip dari: Wikimu)
Sebuah tantangan bagi kita sebagai orangtua dan guru adalah merefleksikan pertanyaan ini dan mencari titik temu antara apa yang kita anggap baik untuk anak-anak dengan pendapat mereka mengenai segala sesuatu yang dijalaninya. Pendidikan memberikan kesempatan untuk menjadikan anak sebagai subyek, bukan sekedar obyek yang harus menyesuaikan diri dengan kurikulum dan sistem yang telah dirancang.
Dengan menjadikan anak sebagai subyek pendidikan, layak bagi kita untuk selalu berada di dalam kesadaran sebagai fasilitator yang menjadikan pendapat anak sebagai sebuah hal penting di dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka.
Sebagaimana dinasihatkan oleh Kahlil Gibran, “anakmu bukanlah anakmu.” Mereka memang lahir melalui kita, tetapi mereka bukan milik kita. Mereka bersama kita, tetapi mereka bukanlah milik kita. Sebab, jiwa-jiwa mereka adalah milik masa depan. Sebab, kehidupan itu menuju ke depan, bukan tenggelam di masa lampau.
Berikut kutipan puisi Kahlil Gibran, “Anakmu bukan Anakmu”:
“Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, karena
jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi
bahkan dalam mimpi sekalipun.
Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah
menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan
tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang melucur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap”.
(Puisi Kahlil Gibran dikutip dari: Wikimu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar