Pages

Test Footer

Test Footer 2

Blogroll

Blogger templates

Test Footer 1

ULAMA ASAL INDONESIA


- Sejenak Kita Mengenal Ulama' Asal INDONESIA (Kakeknya) setelah hiruk pikuknya masa kampanye capres cawapres -
Na'am , Beliau adalah Fadhilatusy Syaikh Dr. Anis bin Ahmad bin Thohir Jamal Al Andunisiy -Hafidzhohullahu Ta'ala- (Berasal dari INDONESIA), namun beliau sudah tidak bisa berbahasa Indonesia lagi. BELIAU ADALAH :
- Pengajar tetap di Masjid Nabawi
- Salah satu Pengajar PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM MADINAH (UIM)
- Guru Besar Fakultas Hadits UIM
- Dosen JARH WAT TA'DIL
- Seorang Ulama Ahli Hadits.

Mungkin kita sudah sering mendengar mengenai Syaikh Nawawi AL Bantani (asal Banten). Namun, mungkin juga kita baru mendengar nama Syaikh Nawawi, dan baru mendengar seorang ULAMA yang masih Hidup asal INDONESIA ini.
Ketika beliau mengajar “Setiap permasalahan agama hendaklah dilakukan tiga tahapan:
1. طلب الدليل (Mencari/mengumpulkan Dalil)
2. طلب صحة الدليل (Mencari/mengumpulkan keshahihan dalil -yaitu mana dalil yang shahih diambil dan yang lemah apalagi palsu ditinggalkan, red-
3. طلب صحة الاستدلال (Mencari/mengumpulkan keshahihan pendalilan) -yaitu mana dalil yang shahih tadi memang pantas dan cocok di dalam permasalahan ini diambil dan yang tidak cocok pendalilannya meskipun shahih ditinggalkan, red-
Syaikh juga pernah ditanya tentang kasus "ISTRI YANG SELINGKUH", beliau menjawab : "Saya WASIATKAN para suami untuk SABAR dengan kekurangan istrinya, KECUALI dalam 3 hal:
1. Istri memiliki akidah yang rusak (kemusyrikan);
2. Tidak mau shalat;
3. Berzina (istri selingkuh)
**Untuk mengunduh durus-durusnya silahkan antum buka saja website resmi beliau di sini : http://www.anistahir.com /
(Kutub, Durus Aqidah, Hadits, Fiqih, Siroh, dll sudah tersedia tinggal download, baca, simak, dengarkan- Okesemua Insya Allah)
**Fanspagenya, silahkan like di link ini : https://www.facebook.com/anistahircom?ref=stream
**Foto diambil di fanspage beliau, ketika beliau berada di podium AULA UNIV. ISLAM MADINAH, dimana yang ngisi di sini bukan sembarang orang, biasanya yang duduk di sini adalah ULAMA KIBAR

Wanita 60 Tahun hafal al Qur’an Hanya Dengan Mendengar


Usinya 60 tahun. Ia seorang buta huruf yang tak bisa baca tulis. Sepanjang hidupnya, ia tidak pernah mengecap pendidikan sekolah. Ia memfokuskan diri mengurus rumah tangga dan kehidupan 10 orang anggota keluarga yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Suaminya meninggal dunia karena penyakit akut yang ia idap.
Orang-orang yang ada di sekitarnya lari darinya. Sehingga, ia menghadapi kondisi kemiskinan dan hutang yang menumpuk di hadapan banyak anaknya dengan berbagai ragam permintaan mereka. Ia tidak menggerutu ataupun menyerah. Sebab, ia sadar bahwa tugasnya adalah mulia sekaligus merupakan sebuah kewajiban.
Ia mendorong anak-anaknya untuk menjadi komponen yang baik dalam masyarakat melalui keberhasilan mereka meraih berbagai ijazah perguruan tinggi dengan pendapatan bulanan yang tak seberapa ia peroleh.
Anak-anaknya menikah dan masing-masing mereka sibuk dengan kehidupan barunya. Sang ibu mendapati banyak waktu kosong. Ia pun membentengi diri dengan al Qur’an yang mulia. Kondisinya yang buta huruf tidak menjadi halangan baginya. Bahkan, ia berusaha keras dan membeli sejumlah kaset murattal.
Ia terus mendengarkan bacaan murattal tersebut dan mengulang-ngulang mengikuti bacaannya. Secara turin pula ia mendatangi beberapa halaqah tahfidz yang ada di Thaif untuk memperdengarkan apa yang telah ia hafal kepada para pengajar di halaqah tersebut. Sang ibu terus dalam kondisi seperti ini.
Hari demi hari, ia mendengar dan menghafal hingga dengan pertolongan Allah ia mampu menghafal al Qur’an secara keseluruhan dalam usia 60 tahun.
Sumber: Buku “Kisah Inspiratif Para Penghafal al-Qur’an”, Ahmad Salim Badwilan, Penerbit WIP.
Artikel: www.kisahislam.net

‘Amr Ibnu Salamah, Mengimami Kaumnya Ketika Berusia 6 Atau 7 Tahun


Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari tentang ‘Amr ibnu Salamah Al-Jarmi yang menjadi imam bagi kaumnya, padahal usianya baru enam atau tujuh tahun. Dan itu terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Amr bin Salamah menuturkan kelengkapan kisahnya:
Kami bermukim di dekat sebuah mata air yang biasa dilewati orang-orang. Suatu ketika serombongan musafir yang berkendaraan melewati kami. Kami pun bertanya kepada mereka, “Bagaimana kabarnya orang-orang? Ada apa dengan mereka? Bagaimana dengan lelaki yang sedang ramai pemberitaannya?” Mereka menjawab, “Lelaki itu mengaku Allah-lah yang mengutusnya dan memberi wahyu kepadanya. Allah mewahyukan kepadanya ini dan itu (dengan membacakan wahyu Al-Qur’an yang mereka maksud).”
Aku pun menghafal wahyu berupa ayat-ayat Al-Qur’an tersebut seakan-akan menempel dalam dadaku. Sementara itu kabilah-kabilah Arab menunda keislaman mereka sampai Fathu Makkah. Mereka mengatakan, “Biarkan dia dan kaumnya. Bila dia menang atas kaumnya berarti memang dia nabi yang benar.”
Tatkala terjadi Fathu Makkah, setiap kaum bersegera masuk Islam. Ayahku mendahului kaumku dalam berislam. Saat ayahku datang dari menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Demi Allah! Aku datang kepada kalian dari sisi nabi yang haq (benar-benar seorang nabi). Nabi itu berkata, “Shalatlah kalian shalat ini di waktu itu dan shalat itu di waktu ini. Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian menyerukan adzan dan hendaknya orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya mengimami kalian.”
Mereka pun melihat siapa yang paling banyak hafalannya. Ternyata tidak ada seorang pun dari kaumku yang paling banyak hafalannya melainkan aku, karena sebelumnya aku mendapatkannya dari rombongan musafir. Kaumku pun memajukan aku di hadapan mereka untuk mengimami mereka, padahal saat itu usiaku masih enam atau tujuh tahun.
Saat mengimami mereka aku mengenakan pakaian yang pendek. Bila aku sujud, pakaian itu terangkat dari bagian bawah tubuhku. Seorang wanita dari kampung (yang ikut shalat bersama jamaah) lalu berkata, “Tidakkah kalian menutupkan dari kami pantat pembaca Al-Qur’an kalian itu?” Kaumku lalu membelikan untukku pakaian dan mereka pakaikan kepadaku. Tidaklah aku bergembira memperoleh sesuatu sebagaimana gembiraku mendapat pakaian tersebut. (HR. Al-Bukhari)
Dinukil dari Majalah AsySyariah Edisi 056

Seorang Ibu Rumah Tangga Pun Menjadi Penghafal Al Quran


Ummu Zaid, seorang ibu rumah tangga ketika menceritakan pengalamannya dalam menghafal Al Quran, beliau menutup cerita dengan kata-kata yang bisa menjadi nasihat untuk kita semua, terutama untuk ibu rumah tangga. Belum pupus harapan bagi kalian untuk menjadi penghafal kitabullah.
Berikut nasihat beliau yang saya kutip dari buku Hafal Al Quran Dalam Sebulan
Untuk menutup halaman-halaman yang indah ini, aku sampaikan pada kalian bahwa aku adalah wanita , sebagaimana wanita lainnya. Aku memiliki suami dan anak-anak. Anak-anakku belajar di sekolah khusus dengan kurikulum pelajaran yang sangat sulit. Aku hafal Al Quran, tapi aku tidak melalaikan tanggung jawabku sebagai seorang ibu. Aku didik anak-anakku dan berusaha mengajari mereka segala sesuatu. Bahkan tanggung jawabku yang paling utama adalah sebagai seorang istri yang berusaha untuk mendapatkan keridhaan suami, tanpa mengurangi haknya dan dengan menunaikan kewajiban-kewajibanku secara sempurna.
Alhamdulillah, Allah tidak menjadikanku telat dalam menghafal al Quran. Demi Allah, janganlah kalian beralasan atas tidak hafalnya kalian terhadap al Quran. Apalagi kalian adalah para gadis yang belum menikah dan belum memikul tanggung jawab.
Pertama dan terakhir kalinya adalah berprasangka baik pada Allah. Karena dengan begitu, Allah akan berprasangka baik sesuai dengan persangkaan hamba-Nya. Pada awalnya, aku mengira bahwa surat al Baqarah dan Ali Imran sangat sulit untuk dihafal, dan usaha itu akan memakan waktu yang lama. Dan Allah pun memberiku anugrah sesuai dengan apa yang kusangka, yakni menghafalnya selama 7 tahun. Itu karena aku tidak berprasangka baik pada Allah.
Namun setelah itu, ketika aku berpasrah diri pada Allah dan berprasangka baik terhadap-Nya, aku berujar pada diri sendiri, “Aku akan menghafal al Quran secara keseluruhan dalam waktu yang singkat.” Allah pun memuliakanku dengan menghafal kitab-Nya, bahkan memudahkanku. Allah menunjuki jalan dan cara menghafal yang bermacam-macam, yang tidak pernah kumengerti dan kuketahui sebelumnya.
Wahai orang yang berkeinginan untuk menghafal Al Quran, bertawakallah pada Allah! Bersungguh-sunguhlah dalam berusaha! Dan jujurlah pada dirimu, bahwasanya engkau benar-benar ingin menghafal Al Quran! Serta, berprasangka baiklah bahwa Allah akan memberi taufik-Nya atas usahamu! Demi Allah, engkau akan memperoleh apa yang kau ingin dengan segera. Dan engkau akan menjadi bagian dari penghafal kalam yang paling agung, yaitu kalam Rabb semesta alam. Dia telah berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al Quran itu untuk pelajaran. Maka, adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Al Qamar: 17)
Subhanallah, mereka yang mengenalku mengira bahwa aku selalu mengawasi anak-anakku. Tetapi tanpa perlu kujelaskan dengan kata-kata, mereka akan mengetahui hal yang sebenarnya.
Suatu hari, ketika aku sedang duduk, anakku yang belum genap 2 tahun berjalan mendekati meja yang diatasnya terdapat mushaf yang biasa kugunakan untuk menghafal. Ia mengenali mushaf itu, dan membawanya padaku. Setelah itu, ia menyeraknan padaku sembari mengucapkan beberapa patah kata, “Mata, Quran.” Seakan-akan ia berucap, “Bacalah wahai ibu, dalam waktu dekat ibu kan selesai mengkhatamkannya.”
Subhanallah, pada hari itu tidak ada perhatiannya selain mencariku dan mencari ayahnya. Jika mushaf tidak terdapat di tangan kami, maka ia berlari untuk mengingatkan kami. Subhanallah.
Sumber: Buku Hafal Al Quran Dalam Sebulan
Artikel: www.kisahislam.net

Kisah Ummu Shalih (82 tahun) Penghafal Al-Qur’an


RUBRIK KELUARGA pada Majalah Ad-Dakwah selalu menghadirkan kepada para pembacanya kisah-kisah yanq penuh keteladanan dan juga berbagai informasi yang menyejukkan hati.
Berikut ini adalah salah satu pengalaman nyata yang dimuat dalam majalah tersebut.  Mari kita simak bersama!

Ummu Shalih. 82 tahun, mulai menghafal Al-Qur’an pada usianya yang ke-70. Tamasyanya ke taman hafalan Al-Qur’an, sungguh sangat menginspirasi. Cita-citanya yang tinggi, kesabaran, dan juga pengorbanannya patut kita teladani.
Inilah hasil wawancara dengan Ummu Shalih.
Motivasi apa yang mendorong Anda untuk menghafalkan Al-Qur’an pada umur yang setua ini?
Sebenarnya, cita-cita saya untuk menghafal Al-Qur’an sudah tumbuh sejak kecil. Kala itu ayah selalu mendoakanku agar menjadj hafizhah Al-Qur’an seperti beliau dan juga seperti kakak laki-lakiku. Dari hal itulah, aku mampu menghafal beberapa surat —kira-kira 3 juz.
Ketika usiaku menginjak 13 tahun, aku menikah. Tentu setelah itu aku tersibukkan dengan urusan rumah dan anak-anakku. Ketika aku dikaruniai 7 (tujuh) orang anak, suamiku wafat.   Karena ketujuh buah hatiku masih kecil-kecil, maka seluruh waktuku tersita untuk mengurusi dan mendidik mereka.
Nah, ketika mereka sudah dewasa dan berkeluarga, maka waktu ku pun kembali luang. Dan hal yang pertama kali aku tunaikan adalah mencurahkan tenaga dan waktuku untuk mewujudkan cita-cita agungku yang tertunda untuk menghafal Kitabullah Azza wa Jalla.
Bagaimana awal perjalanan Anda dalam menghafal?
Aku mulai menghafal kembali ketika putri bungsuku masih duduk di bangku Tsanawiyah (SMP).  Dia salah satu putriku yang paling dekat denganku, dan dia sangat mencintaiku.  Sebab kakak-kakak perempuannya telah menikah dan disibukkan dengan kehidupan baru mereka.  Sedangkan, dia (putri bungsuku) tinggal bersamaku. Dia sangat santun, jujur, dan mencintai kebaikan.
Putri bungsuku pun bercita-cita untuk menghafal Al-Qur’an—terlebih ketika ustadzahnya menyemangati dirinya. Dari sinilah, saya dan juga putri bungsuku menghafal Al-Qur’an, setiap hari 10 ayat.
Bagaimana metode yang Anda gunakan untuk menghafal?
Setiap hari, kami hanya menghafal 10 ayat saja. Pada ba’da Ashar, Kami selalu duduk bersama.   Putriku membaca ayat, kemudian aku menirukannya hingga 3 (tiga) kali.   Setelah itu putriku menerangkan makna dari ayat-ayat yang Kami baca. Lantas membaca kembali ayat-ayat tersebut hingga 3 (tiga) kali.
Keesokan harinya, sebelum berangkat ke sekolah putriku mengulangi ayat-ayat tersebut untukku. Tak cukup itu saja, saya pun menggunakan tape recorder untuk mendengar murattal Syaikh Al-Hushairi, dan aku mengulanginya hingga 3 (tiga) kali. Aku pun mendengar murattal tersebut pada sebagian besar waktuku.
Kami menetapkan hari Jum’at, khusus untuk mengulangi kembali ayat-ayat yang kami hafal selama satu pekan. Demikian seterusnya, saya dan putri bungsuku selalu menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara tersebut.
Kapan Anda selesal menghafal seluruh Al-Qur’an?
Kira-.kira 4,5 tahun berjalan aku sudah hafal 12 Juz dengan cara yang telah saya sebutkan. Kemudian putriku pun menikah. Ketika suaminya mengetahui kebiasaan kami, dia pun mengontrak sebuah rumah yang dekat dengan rumahku untuk memberikan kesempatan kepadaku dan putriku untuk menyempurnakan hafalan kami.
Semoga Allah membalas kebaikan menantuku dengan kebaikan yang lebih baik. Dialah yang selalu menyemangati kami, bahkan terkadang dia menemani kami untuk menyimak hafalan kami, menafsirkan ayat-ayat yang kami baca, dan juga memberikan pelajaran-pelajaran berharga kepada kami.
Tiga tahun kemudian, putriku tersibukkan dengan urusan anak-anaknya dan pekerjaan rumahnya.   Sehingga tidak bisa melazimi kebiasaan yang telah kami jalani. Putriku pun merasa khawatir hafalanku menjadi terbengkalai. Maka, putriku pun mencarikan untukku seorang ustadzah agar dapat menemaniku menyempurnakan hafalanku.
Dengan taufik Allah Azza Wajalla aku pun telah purna menghafalkan seluruh Al-Qur’an.   Semangat putriku pun masih membara untuk menyusulku menjadi hafizhah Al-Qur’an. Bahkan,  tidak mengendur sedikit pun.
Cita-cita Anda sangat tinggi, dan Anda pun telah mewujudkannya. Siapakah sosok wanita di sekitar Anda yang selalu mendukung Anda?
Motivasi saya telah jelas dan terang. Putri-putriku, juga para menantu perempuanku pastinya selalu mendukungku. Walau hanya satu jam, kami sepakat untuk mengadakan pertemuan sepekan sekali. Dalam pertemuan itu kami menghafal beberapa surat, dan saling menyimak hafalan. Terkadang pertemuan itu pun macet. Tetapi kemudian mereka bersepakat kembali untuk bertemu. Saya yakin, niat mereka semua sangat baik.
Tak ketinggalan pula, cucu-cucu perempuanku yang selalu memberikan kaset-kaset murattal Al-Qur’an. Hingga aku pun selalu memberi mereka bermacam-macam hadiah.
Awalnya, tetangga-tetanggaku juga tidak simpatik dengan cita-citaku. Mereka selalu mengingatkanku betapa sulitnya menghafal di usia yang daya ingatnya telah lemah. Tetapi ketika mereka melihat kebulatan tekadku, akhirnya mereka pun berbalik mendukung dan menyemangatiku. Ada di antara tetanggaku yang juga ikut tersulut semangatnya untuk menghafal, dan sedikit demi sedikit hafalannya pun mulai bertambah.
Ketika tetangga-tetanggaku mengetahui bahwa aku telah purna menghafal seluruh Al-Qur’an, mereka pun sangat berbahagia. Hingga kulihat air mata bahagia menetes di pipi mereka.
Sekarang, apakah Anda merasa kesulitan untuk muraja’ah (mengulangi) hafalan?
Saya selalu mendengarkan murattal Al-Qur’an, dan menirukannya. Demikian juga ketika shalat, saya selalu membaca beberapa surat panjang. Terkadang pula saya meminta salah seorang putriku untuk menyimak hafalanku.
Di antara putra-putri Anda, adakah yang juga hafizh seperti Anda?
Tak ada satu pun dari mereka yang hafal keseluruhan Al-Qur’an. Tetapi, insya Allah mereka selalu berusaha mencapai cita-cita menjadi hafizh. Semoga Allah menyampaikan mereka pada hal tersebut dengan bimbingan-Nya.
Setelah hafal Al-Qur’an, tidak terpikirkan untuk menghafal hadits?
Saat ini, saya telah hafal 90 hadits, dan saya tetap berkeinginan untuk melanjutkannya, Insya Allah. Saya menghafalnya dengan mendengarkan dari kaset. Pada setiap akhir pekan, putriku membacakan untukku 3 (tiga) hadits. Sekarang, saya telah mencoba untuk menghafal hadits lebih banyak lagi.
Setelah kurang lebih 12 tahun Anda disibukkan dengan menghafal Al-Qur’an, perubahan apa yang Anda rasakan dalam kehidupan Anda?
Benar, saya merasakan perubahan yang mendasar dalam diri saya. Walau sebelum menghafal–untuk Allah segala pujian—saya selalu menjaga diri untuk senantiasa dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setelah disibukkan dengan menghafalkan Al-Qur’an, justru saya merasakan kelapangan hati yang tak terkira, dan sirnalah seluruh kecemasan dalam diriku. Saya pun tidak pernah menyangka akan terbebas dari perasaan khawatir terhadap urusan-urusan yang menimpa anak-anakku.
Moral dan spiritku benar-benar terangkat. Hingga aku pun rela berpayah-payah untuk mewujudkan kerinduanku dalam mewujudkan cita-citaku. Inilah nikmat terbesar yang diberikan oleh Sang Khaliq Azza Wajalla kepadaku sebagai wanita tua, suami pun telah tiada, dan juga anak-anaknya pun mulai berkeluarga.
Di saat wanita lanjut usia lainnya terjebak dalam angan-angan dan lamunan. Tetapi aku —segala puji hanya untuk Allah— tidak merasakan hal yang demikian. Saya benar-benar tersibukkan dengan urusan besar yang memiliki faedah di dunia dan akhirat.
Ketika itu, apakah Anda tidak berpikir untuk mendaftarkan diri pada sebuah pesantren penghafal Al-Qur’an?
Pernah beberapa wanita yang mengusulkan kepadaku, tapi saya adalah wanita yang terbiasa untuk berdiam diri di dalam rumah dan jarang sekali keluar rumah. Alhamdulillah, karena putriku telah mencukupi segalanya dan membantuku dalam segala urusan. Sungguh, putriku benar-benar tidak ada duanya. Aku pun telah banyak mengambil pelajaran darinya.
Apa yang terkesan dalam diri Anda tentang putri bungsu Anda yang telah membimbing dan mendampingi Anda?
Putri bungsuku telah memberikan pelajaran mengagumkan dalam kebaikan dan kedermawanan yang keduanya sulit ditemui pada zaman sekarang. Terlebih dia mendampingiku menghafal Al-Qur’an pada usia ABG. Padahal,usia ini adalah usia labil yang mudah terombang-ambing dan tergoda dengan keadaan yang menjerumuskan.
Tidak seperti umumnya teman-teman seusianya, putriku memaksakan diri untuk meluangkan waktunya untuk mendampingiku. Dia pun mengajari dan mendampinqiku dengan tekun, sabar, dan penuh kelembutan. Suaminya pun demikian —semoga Allah senantiasa menjaganya, selalu menolong dan telah memberikan bantuan yang begitu banyak. Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan kepada mereka berdua dan menyejukkan pandangan mata mereka dengan anak-anak yang shalih.
Apa saran Anda kepada wanita yang telah lanjut usia, dan menginginkan untuk dapat menghafalkan Al-Qur’an, tetapi terhalang oleh rasa khawatir dan merasa tidak mampu untuk melaksanakannya?
Saya katakan, “Jangan berputus asa terhadap cita-cita yang benar. Teguhkanlah keinginanmu, bulatkan tekadmu, dan berdoalah kepada Allah di setiap waktu. Kemudian, mulailah sekarang juga. Setelah umurmu berlalu dan kau curahkan seluruhnya untuk memenuhi tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, mendidik anak, dan mengurus suami. Maka sekarang saatnyalah Anda memanjakan diri. Bukan berarti kemudian memperbanyak keluar rumah, memuaskan diri dengan tidur, bermewah-mewah, dan banyak beristirahat. Tetapi memanjakan diri dengan amal shalih.  Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon khusnul khatimah.
Nasihat Anda terhadap para remaja?
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Nikmat Allah berupa kesehatan, dan banyaknya waktu luangmu, maksimalkanlah untuk menghafal kitab Allah Azza Wa Jalla. Inilah cahaya yang akan menyinari hatimu, hidupmu, dan kuburmu setelah engkau mati.
Jika kalian masih memiliki ibu, bersungguh-sungguhlah dalam membimbingnya menuju ketaatan kepada Allah. Demi Allah, tidak ada nikmat yang lebih dicintai seorang ibu kecuali seorang anak shalih yang mau menolongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla.
(diterjemahkan dari quraan-sunna.com)
Disalin dari buku: HAFAL AL-QUR’AN TANPA NYANTRI
penyusun: Abdud Daim Al Kahil.
penerbit: Pustaka Arafah
Cet I, Maret 2010, halaman 129-137
Sumber: http://jilbab.or.id

MEMANFAATKAN MASA KANAK-KANAK DAN MASA MUDA UNTUK MENGHAFAL


Saat masih kecil, hati lebih fokus karena sedikit kesibukannya. Dikisahkan dari al-Ahnaf bin Qais, bahwasanya ia mendengar seseorang berkata:

اَلتَّعَلُّمُ فِيْ الصِّغَرِ كَالنَّقْشِ عَلَى الْحَجَرِ ,
فَقَالَ الْأَحْنَفُ : اَلْكَبِيْرُ أَكْثَرُ عَقْلًا لَكِنَّهُ أَشْغَلُ قَلْبًا.

"Belajar pada waktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu".

Maka al-Ahnaf berkata,”Orang dewasa lebih banyak akalnya, tetapi lebih sibuk hatinya.”

Seharusnya siapa pun yang telah berlalu masa mudanya supaya tidak menyia-nyiakan waktu untuk menghafal. Jika ia konsentrasikan hatinya dari kesibukan dan kegundahan, niscaya ia akan mendapatkan kemudahan dalam menghafal Al-Qur`ân, yang tidak dia dapatkan pada selain Al-Qur`ân.
Allah berfirman Subhanahu wa Ta'ala :

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur`ân untuk pelajaran, maka adakah yang mau mengambil pelajaran?". [al-Qomar/54:17].

Demikianlah di antara keistimewaan Al-Qur`ân.

Perlu Anda ketahui, tatkala manusia telah mencapai usia tua, saraf penglihatannya akan melemah. Kadangkala dia tidak mampu membaca Al-Qur`ân yang ada di mushaf. Dengan demikian, yang pernah dihafal dalam hatinya, akan dia dapatkan sebagai perbendaharaan yang besar. Dengannya ia membaca dan bertahajjud. Tetapi jika sebelumnya ia tidak pernah menghafal Al-Qur`ân sedikitpun, maka alangkah besar penyesalannya. DR.ANAS KARJUN
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]

Yang wajib itu adalah belajar, bukan sekolah.


belajar jauh lebih luas maknanya daripada bersekolah. Sekolah hanyalah salah satu bentuk dan model belajar. Tetapi, belajar itu sendiri tak harus di sekolah. www.rumahinspirasi.com

KARAKTER SAHABAT NABI TENTANG QURAN

Suatu hari Sahabat Khalid Bin Walid -radhiallahu anhu- memegang Al Qur'an sambil menangis dan berkata: "Jihad telah membuat kami sibuk sehingga lalai dari membacamu".

Adapun saat ini.. Maafkan kami wahai Al-Qur'an.. Jihaz (HP,tablet,dll) telah menyibukkan kami dari membacamu.

.::Bunda, Kakak Udah Hafal al-Qur-an



Dalam sebuah acara buka puasa, di tahun-tahun yang lewat, seorang anak membacakan surat-surat yang dihafalnya, termasuk hadits dan do’a-do’a nabawi di hadapan para tamu. Mereka kagum dengan anak kecil tersebut.
Sang ayah mengakui bahwa anaknya tersebut diajarkan oleh ibunya. Sang anak sering mendengar hafalan Al-Qur-an, hadits maupun do’a-do’a yang dibacakan sang Bunda.
Ini adalah salah satu bukti betapa mudahnya mereka, anak-anak, menghafal dari bacaan orang lain. Ini disebabkan kekuatan pendengaran mereka yang lebih tajam dari penglihatan.
Terdapat beberapa riwayat tentang ini diantaranya dari sahabat Samurah bin Jundub dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Samurah bin Jundub bertutur, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
“Di zaman Nabi, aku adalah seorang anak kecil. Namun, aku turut pula menghafalkan hadits dari beliau, sementara orang-orang yang ada di sekelilingku semuanya lebih tua dariku.”
Ibnu ‘Abbas bertutur:
“Aku bermalam di rumah bibiku Maimunah radhiyallahu ‘anha. Terdengarlah suara mu’adzdzin mengumandangkan adzan. Nabi pun keluar untuk melaksanakan shalat, dan ketika itu beliau berdo’a:
اللهم اجعل في قلبي نورا واجعل في لساني نورا واجعل في سمعي نورا واجعل في بصري نورا واجعل خلفي نورا ومن أمامي نورا واجعل من فوقي نورا ومن تحتي نورا اللهم أعظم لي نورا
“Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam hatiku, jadikanlah cahaya dalam penglihatanku, jadikanlah cahaya di belakangku, jadikanlah cahaya di depanku, jadikanlah cahaya di atasku, jadikanlah cahaya di bawahku dan besarkanlah cayaha untukku, ya Allah.”[2]
Kedua riwayat di atas memberikan penguatan kepada Bunda bahwa anak-anak begitu cepat dan mudah menghafal dari pendengaran mereka.
Lihatlah Samurah bin Jundub kecil yang menghafal hadits dari lisan sang Nabi. Lihatlah Ibnu ‘Abbas kecil yang menghafal do’a berjalan menuju masjid dari lisan sang Nabi.
Dengarlah ungkapan Hasan bin ‘ali bin Abi Thalib yang bertutur:
“Kuhafal (sebuah kalimat) dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
‘Tinggalkanlah apa yang meragukanmu menuju sesuatu yang tak membuatmu ragu.”[3]

Kembali ke anak kecil tadi, tak hanya Al-qur’an, ia juga terlihat menghafal hadits dan do’a nabawi. Maka begitulah kiranya salah satu bentuk pengajaran sang Bunda kepada buah hati mereka yaitu mengajarkan hadits dan do’a, minimal memperdengarnya.
Begitu tersentuh hati sang anak ketika melihat sang Bunda sedang berdo’a dan menangis sambil bersujud, atau ketika sang Bunda memperlihatkan antusiasnya terhadap hadits nabi, atau ketika sang Bunda mengulang-ngulang hafalan hadits yang dia hafal sebelum nikah dahulu.
Lebih dari itu, marilah beralih ke bahasa arab. Ketika pasangan suami istri yang sedang melanjutkan studi mereka ke Erofa, ini menjadikan sang anak mampu berbahasa inggris, minimal memahaminya atau memudahkan sang anak untuk mempelajari bahasa inggris. Ini dikarenakan, salah satunya, kedua orang tua merutinkan diri untuk menggunakan bahasa inggris di rumah kontrakan mereka di negara tempat melanjutkan studi.
Sekarang, bagaimana sekiranya jika pasangan suami istri di rumah mengganti bahasa inggris dengan menggunakan bahasa arab sehingga anak-anak terbiasa dengan bahasa ini dan juga lahjah-nya? Tentu ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa.
يا أمي أين قلمي؟ أريد أن أكتب لك شيء
“Ya ummie. Aina qalamie? Uridu an aktuba syai-an laki?”
(Bu, mana pulpen adik? adik pengen nulis sesuatu untuk ibu)
أمي أين أبي؟ ما رأيته اليوم
“Ummie, Aina abie? Ma ra-aituhu al-yaum”
(ummii, abi mana? Kakak ngga liat abi hari ini).
أمي إن تبسمك جميل أجمل من القمر
“ummie, inna tabassumaki jamiil ajmalu min alqamar”
(mama.. senyum mama begitu cantik, lebih cantik dari rembulan)
Begitu senang dan ceria hati sang Bunda ketika ngobrol bersama si kecil seperti kalimat di atas. Apalagi kelak, di masa-masa mendatang pada episode kehidupan selanjutnya, mereka akan bertutur di hadapan Bunda mereka atau via telephon:
أمي قد حفظت القرآن كله
“Ummiiiiiiie. Qad hafidztu Al-qur’ana kullahu”
(Bundaaaaa, aku telah menghafal Al-Qur-an semuanya)
أمي أنا أستطيع أن أتكلم معهم باللغة العربية جيدا
“umiiiie. Ana astathi’u an atakallama ma’ahum billughati al-‘arabiyyah jayyidan.”
(Mamaaaa, aku udah bisa ngomong bersama mereka dengan baik pakai bahasa arab)
أمي قد حفظت كثيرا من أحاديث قدوةنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ummiiiieee. Qad hafidztu katsiran min ahaaditsi qudwatinaa Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
(Ibu, adik udah hafal banyak hadits-hadits Rasulillah, teladan kita, shallallahu ‘alaihi wasallam)
Lantas, senyum dan air mata Bunda yang mengalir menandakan terbitnya kebahagiaan di hatinya

***
Subhanaka allahumma wa bihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika.
Fachriy Aboe Syazwiena
________
End Notes:
[1] Syarah Ushul I’tiqad Ahlussunnah, Juz 7 hal. 1240.
[2] HR Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya (1/229) dengan dua sanad, salah satunya shahih.
[3] HR Tirmidzi dan An-Nasa’i. At-Tirmidzi berkata “Hadits ini berstatus hasan shahih”
_____
Disarikan dari naskah buku kami yang berjudul Hingga Engkau Mekar Jadi Mawar

Pendidikan Berkarakter Itu…


Di tengah gembar-gembor ‘pendidikan berbasis karakter’, rupanya sudah banyak orang bahkan instansi pendidikan yang latah dengan istilah tersebut. Saat ini kita bisa dengan mudah mendapati sekolah dan pondok pesantren yang menyematkan kata ‘pendidikan berbasis karakter’ untuk menarik minat calon murid. Ada pula istilah manajemen sekolah berbasis karakter, kemudian diklat pendidik berkarakter, bangsa berkarakter, pemimpin berkarakter, dan masih banyak lagi ‘karakter-karakter’ lain yang jika digunakan seolah mampu menaikkan mutu dari penggunanya. Tren pendidikan berbasis karakter ini terlahir dari kebutuhan para orangtua yang tengah mencari metode terbaik dalam mendidik anaknya dengan harapan tidak sekedar pintar tapi juga mempunyai karakter.

Mendapatkan karunia berupa seorang anak bagaikan mendapat ‘proyek’ luar biasa. Bisa disebut ‘proyek’ karena memiliki anak adalah suatu pekerjaan yang harus digarap dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Kalau proyek lain datangnya dari atasan atau bos, maka proyek mendidik anak ini datang dari Sang pencipta makhluk dan alam semesta. Seperti halnya sebuah proyek yang tergantung pada pelaksananya, maka sama halnya dengan seorang anak yang bisa menjadi Nasrani atau Majusi dengan sebab orangtuanya yang tidak beriman. Kita tentu tidak bisa berpangku tangan dengan mengatasnamakan takdir, ‘toh kalau anak kita ditakdirkan menjadi anak sholeh pasti dia akan tumbuh menjadi anak sholeh’. Pernyataan seperti itu tentu salah besar dan hanya keluar dari lisan orangtua yang frustasi dan putus asa. Manusia diberi kesempatan oleh Allah untuk berusaha, maka kita tidak boleh menyia-nyiakannya.
Begitu anak pertama lahir, orangtua biasanya sudah mulai merancang rencana dan harapan. Siapa yang tidak ingin punya anak hafal qur’an pada usia belia? Siapa yang tidak memimpikan bisa punya penerus yang sholih dan sholihah dan senantiasa mendoakan kedua orangtuanya? Orang paling kaya pun pasti mau menukar hartanya jika ia tahu ganjaran yang akan Allah berikan jika berhasil mendidik anak. Kita harus punya metode, karena setiap tujuan pasti punya jalan khusus untuk meraihnya. Oleh karena itu, kita perlu mencari metode mendidik anak yang terbaik. Jalan yang dipilih pastinya jalan yang efektif dan efisien, tidak berbelok-belok sehingga lama sampai di tujuan, atau justru salah jalan hingga tersesat.
Secara refleks, setiap wanita muslimah yang ditanya tentang metode pendidikan anak terbaik pasti kebanyakan akan menjawab ‘yang islami’. Sederhana, namun tidak selalu berhasil menjawab berbagai pertanyaan tentang metode mendidik anak. ‘Islami’ disini harus dilandaskan ilmu, bukan asal tempel untuk melegalisasi suatu perbuatan, seperti misalnya pacaran islami, sinetron islami, dan lain sebagainya. Maka mewujudkannya harus dilandasi ilmu yang benar dan tidak menyimpang dari Al-qur’an dan sunnah Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ditengah penelitian dan pengkajian tentang berbagai metode pendidikan yang terbaik, muncullah pertanyaan ‘lalu bagaimana dengan Islam’? Apakah pendidikan menurut Islam itu cukup berkarakter? Karakternya siapa? Sebuah pertanyaan yang bisa dijawab dengan hanya mendatangkan satu hadits saja. Sebuah hadits yang seharusnya menjadi inspirasi bagi setiap orangtua dan pendidik dalam menjalankan perannya. Sebuah hadits yang seharusnya menjadi rujukan dan lebih didahulukan dari sekedar teori-teori psikologi terkini. Hadits yang mulia itu diriwayatkan oleh Tirmidzi :
عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat:
Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu.
Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu.
Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah,
dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.
Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu.
Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Dengan memahami untaian nasihat dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas di atas maka terjawab sudah semua pertanyaan mengenai pendidikan berbasis karakter. Tidak perlu menunggu para pakar merumuskan teori pendidikan, karena sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menerapkannya untuk mendidik para sahabat beliau yang mulia. Tidak ada yang menyangsikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang pendidik sejati. Seorang pendidik yang mendidik dengan ilmu dari Allah ‘azza wa jalla dan bukan dengan hawa nafsunya. Sosok pendidik yang mendidik dengan hati, bukan karena keterpaksaan, bukan pula sekedar kebetulan, apalagi semata mencari ketenaran.
Nasihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang termaktub dalam hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu seolah merangkum semua karakter hebat yang bisa diajarkan pada anak-anak kita.
Perintah menjaga Allah adalah perintah untuk selalu menjaga diri dari perbuatan buruk atau maksiat yang dilarang olehNya. Selain itu, menjaga Allah juga berarti kita berusaha melaksanakan semua perintahnya dengan menjaga amal ibadah kita sehari-hari. Jika anak-anak kita sudah memiliki karakter selalu merasa diawasi oleh Allah, maka kita tidak perlu lagi memata-matai dengan siapa anak bergaul, kita tidak akan mengintip aktivitas anak dengan internet, kita tidak perlu lagi berteriak-teriak menyuruh anak sholat, dan bahkan mungkin pihak sekolah pun tidak perlu memasang CCTV ketika ujian berlangsung. Semua itu karena setiap anak merasa senantiasa diawasi oleh Allah yang Maha Mengetahui.
Nasihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang meminta dan memohon pertolongan hanya kepada Allah mengajarkan anak untuk senantiasa bertauhid dan tidak menyekutukan Allah dengan apapun. Karakter bertauhid adalah karakter terpenting yang jika ditinggalkan maka semua amalan sholeh kita bisa batal dan itu artinya kita juga kehilangan kesempatan untuk memasuki surgaNya. Karakter ini pula yang akan mendorong anak kita menjadi pribadi yang selalu menjaga keikhlasannya dalam beribadah pada Allah, tidak suka mengemis dan bergantung pada manusia lain.
Nasihat berikutnya berupa penanaman sikap tawakal pada Allah, yaitu bahwa seseorang tidak akan memperoleh kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dengan memegang prinsip itu, maka anak-anak kita tidak akan dihinggapi perasaan hasad, iri dan dengki karena menginginkan kenikmatan yang diperoleh orang lain. Maka tentunya seorang anak yang memiliki karakter demikian akan menjadi pribadi yang senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah subhanahu wa ta’ala.
Nasihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu ditutup dengan motivasi supaya anak menjadi sosok pemberani yang tidak gentar menghadapi apapun selama dia berada di atas kebenaran. Berani karena yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa membahayakan dirinya meski mereka bersatu padu, kecuali apa yang Allah tetapkan dan kehendaki. Karakter ini sangat kuat dan mengajarkan anak supaya tidak menjadi anak yang pengecut dan cengeng.
Sedangkan kata-kata ‘pena telah diangkat dan lembaran telah kering’ menegaskan kembali bahwa takdir kita sudah ditulis, maka tidak ada suatu kejadianpun yang terjadi di muka bumi meski hanya berupa jatuhnya satu helai daun kecuali Allah telah menuliskannya.
Dari tangan seorang pendidik yang luar biasa, akan terlahir anak didik yang luar biasa pula. Kita bisa melihat bagaimana hebatnya keimanan Abu Bakar, keberanian Umar bin Khattab, ketawadhu’an Ali bin Abi Thalib, keistiqamahan Zaid, kesetiaan Khadijah, kedermawanan Zainab, kecerdasan ‘Aisyah, dan berbagai karakter kuat yang tersemat dalam diri sahabat. Rasa-rasanya tidak ada karakter yang diharapkan ada pada diri seseorang kecuali ia telah mendahului bersemayam dalam jiwa para sahabat. Tentu saja tidak mengherankan, karena para sahabat dididik langsung oleh pendidik terbaik sepanjang masa.
Jika hanya dengan satu hadits saja bisa puluhan karakter hebat yang diajarkan, maka sudah barang tentu dengan mempelajari hadits-hadits. Jika hanya dengan satu hadits saja bisa puluhan karakter hebat yang diajarkan, maka sudah barang tentu dengan mempelajari hadits-hadits yang lain kita akan mndapati karakter nubuwah yang tak terhitung jumlahnya. Maka marilah kita memulai mendidik anak dengan metode pendidikan berbasis karakter, yaitu karakter nubuwah, yang hanya bisa diperoleh dengan menyelami Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tentunya dengan pemahaman para salafussholih. Wallahu a’lam.
(Ditulis oleh : dr. Avie Andriyani) http://ummiummi.com/pendidikan-berkarakter-itu

Membuat Jadwal Belajar dalam Homeschooling

Tulisan ini kami dapatkan di group Sunni Home Schooling di facebook. Isinya bagi saya pribadi luar biasa karena menyingkirkan rasa khawatir karena belajar di rumah itu memang berbeda dengan belajar di sekolah. Dari tulisan ini, kita juga belajar bahwa terkadang kita (untuk yang menerapkan metode homeschooling) masih terseret dengan pola pikir cara belajar di sekolah. Tak banyak berkata-kata, mari kita baca artikel berikut.

“When you teach less, the children will learn more” – John Holtby
Oleh: Wiwiet Mardiati on Saturday, December 31, 2011 at 10:14pm

Better Late Than Early

Saya mengenal homeschooling tahun 2006, saat anak saya, Atala, masih berusia 18 bulan. Perkenalan dengan jargon “Better Late Than Early” dari Raymond Moore, mempengaruhi keputusan saya untuk menunda sekolah Atala, yaitu tidak masuk preschool dan TK. Saya pribadi setuju dengan pendapat bahwa meski banyak preschool dan TK yang keliatannya santai, “tidak berat”, dan hanya “main-main” saja, tapi tidak punya “otoritas yang lebih tinggi” di usia dini untuk mendikte Atala melakukan sesuatu itu cukup penting sebagai pondasi menumbuhkan rasa percaya diri (self-confidence) dan membentuk paradigma (mindset) baik ke kami, orangtuanya, maupun ke Atala sendiri, bahwa dia, bisa belajar otodidak tentang apapun sejak dini.
Perkenalan dengan unschooling juga mengajariku bahwa yang terpenting di usia dini justru menumbuhkan rasa nyaman dan betah tinggal dirumah (dengan tidak keluar rumah terlalu dini) dan memberi kesempatan lebih panjang untuk saling mengenal (get connected) dengan anggota keluarga sendiri. Saya mempercayai pendapat yang bilang, setelah itu, kebutuhan ke luar rumah akan tumbuh secara alami dan dengan sendirinya, datang dari anak itu sendiri, dimana kapan kebutuhan tersebut muncul, akan bervariasi tiap anak.
Keputusan ini, 5 tahun kemudian, ternyata merupakan keputusan berharga, karena saya menjadi “saksi mata” bagaimana Atala mampu “mengupgrade” diri tanpa ada “yang mengajari”. Atala, telah membuktikan sendiri setiap kata dari John Holt mengenai kemampuan anak untuk self-taught (mengajari diri sendiri) dan self-learning dengan minimal intervensi. Dimulai dari bisa membaca dengan sendirinya di usia 4 tahun, hingga detik ini, Atala terus membuktikan diri bahwa anak-anak bukanlah wadah kosong yang perlu diisi, tapi lebih mirip dibilang seperti spons yang menyerap sekelilingnya secara alami tanpa perlu “susah payah”.
Meski demikian, memasuki tahun 2012 ini, menjelang Atala memasuki 7 tahun (usia sekolah), rupanya “minimal intervensi” dari saya sebagai orangtua, menumbuhkan rasa gelisah dan galau, karena merasa “tidak ngapa-ngapain”, meski sudah jelas catatan belajar (portofolio) Atala sudah membuktikan bahwa dirinya terus belajar tanpa ada halangan, dan kemampuannya terus keliatan berkembang. Suami saya bahkan secara implisit juga mengungkapkan kegalauan yang sama, karena saya tidak keliatan “berbuat apa-apa” untuk Atala.
Obrolan dan diskusi dengan para Ibu muda yang memiliki anak dengan rentang usia sama dengan anak saya (4-9 tahun) ternyata kurang lebih sama. Paradigma kalau Anak tidak keliatan “terpaksa” dan “stress” berarti tidak belajar, ternyata tetap menghantui. Paradigma kalau “guru” (dalam hal ini orangtua) harus melakukan persiapan belajar seperti lesson plan, materi belajar, kurikulum, dan jadwal belajar, supaya keliatan “serius mengajar”, terus membayangi. Terutama kalau ada teman, keluarga, dan pihak luar mulai bertanya-tanya (beneran ingin tahu karena tertarik, bukan sekedar nanya), tentang jadwal belajar anak-anak homeschool.
Melalui note ini, saya ingin berbagi hasil “riset” saya tentang jadwal belajar anak-anak homeschool. Harapan saya, teman-teman yang membaca note ini bisa langsung mengklik link-link dibawah untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik.

Berapa jam sehari?

Secara otomatis, orangtua yang merencanakan homeschooling pertama kali akan mencoba untuk mengadaptasi jadwal belajar di sekolah ke rumahnya, karena hanya itulah kita tahu bagaimana seharusnya “belajar” itu. Orangtua lain akan membayangkan belajar dirumah akan mirip-mirip seperti les privat yang biasanya dilakukan dirumah saat anaknya pulang sekolah.
Yang perlu diingat oleh orangtua, jadwal belajar di sekolah sebenarnya adalah persoalan “crowd-control”. Dengan ratusan siswa dan puluhan guru, pihak manajemen tentu perlu membuat sebuah jadwal stabil dan tidak mudah digoyahkan (baca: tidak fleksibel). Yang perlu diingat lagi, 1 jam di kelas adalah waktu yang lalu perlu dibagi oleh seorang guru dengan siswa yang berjumlah 25 – 40 anak.
Rumus yang pernah saya dapat, 1 jam (bahkan ada yang bilang 2 jam) disekolah itu sama dengan 15 menit dirumah, dengan demikian waktu yang diperlukan orangtua hanyalah 1/4 dari waktu yang diperlukan disekolah. Artinya, 6-8 jam waktu belajar yang dihabiskan di sekolah, ternyata dengan perlakuan one-on-one attettion (satu guru dengan 1-5 anak), hanyalah membutuhkan 1.5 – 2 jam dirumah. Dimana rumus itu didapat? sederhananya, hanya dengan membandingkan dengan pembagian perhatian guru di kelas tersebut yang berusaha mengajari 25 – 40 siswa itu.
Dalam artikel “can a one hour homeschool be effective?”, kita perlu dulu membedakan antara “formal teaching” dan “learning opportunities“. Definisi 1 jam jadwal homeschooling = 1 jam instruksi formal (formal instruction), dimana orangtua “memberi tugas” kepada anak-anaknya. Sedangkan kesempatan belajar (learning opportunities) anak lebih luas dan tidak bisa di”batasi” oleh waktu, melalui field trip, proyek bersama, bermain games, bersosialisasi, dan lain sebagainya.
Untuk itu, saya berkesimpulan bahwa dengan banyaknya metode homeschooling yang berbeda-beda, rupanya yang membedakan adalah bagaimana menyikapi “formal teaching/instruction” tersebut dengan orangtua yang menggunakan unschooling, akan menghilangkan “formal teaching” sama sekali dan orangtua dengan metode school-at-home akan memanfaatkan kesempatan “formal teaching” tersebut dengan menggunakan kurikulum yang dipakai sekolah.
Kesimpulan yang lain, “formal teaching” dalam homeschooling itu memerlukan waktu 15 menit hingga maksimal 2 jam setiap harinya. Hal ini pun rupanya bukan untuk memastikan anak-anak “belajar”, tapi untuk memastikan “ketenangan hati” sang orangtua.

Membagi waktu belajar

Lalu bagaimana membagi waktu belajar tersebut?? Dalam artikel “Homeschool Hours per-Grade“, instruksi formal ini dimulai dari 15 menit/hari untuk TK dan perlahan-lahan meningkat terus hingga 2 jam/hari saat memasuki SMA. Artikel lain memberikan tips untuk membagi waktu per-pelajaran saja sesuai kebutuhan dan karakter anak. Misalnya, 1 jam dalam sehari bisa dibagi menjadi 15 menit per-mata pelajaran (4 mata pelajaran sehari), 30 menit per-mata pelajaran (2 mata pelajaran sehari), atau 1 mata pelajaran perhari.
Mbak Ekawati sendiri yang mempunyai anak usia pra-remaja (11-13 tahun) pernah sharing ke saya kalau mata pelajaran logikanya akan semakin sulit dipelajari ketika memasuki kelas III SD ke atas, sehingga mungkin saja anak memerlukan “pendampingan” lebih banyak. Namun demikian, dilain pihak, ternyata pengalaman Mbak Eka menunjukkan bahwa semakin anaknya besar, waktu untuk “instruksi formal” dan “pendampingan” ternyata bukannya makin meningkat (seperti yang ditulis di artikel diatas), malah semakin menurun. Hal ini tentu saja karena anak semakin bisa pintar melihat “learning opportunities” sebagai jalan meng-upgrade diri, plus ditambah dengan “tombol belajar mandiri” anak-anak yang sudah autopilot, sudah berjalan dengan sendirinya, sehingga peran orangtua untuk “mewajibkan” anak belajar malah semakin sedikit, karena “tombolnya” sudah jalan sendiri.
Kesimpulannya, “formal teaching” dalam kenyataannya bisa semakin meningkat dengan maksimal 2 jam/hari, atau bahkan semakin hilang sama sekali, tergantung tingkat self-learner dari anak tersebut.

  Subyek (mata pelajaran) yang perlu di”instruksi”kan

Subyek apa yang perlu diajarkan ke anak 15 menit-1 jam per-hari itu? Matt James, seorang dokter, homeschool 4 anak dan penulis buku “homeschooling odyssey” memberi tips untuk memberikan subyek yang kira-kira tidak bisa dikuasai anak secara alami. Misalnya, grammar, spelling, dan aritmatika. Perlu diingat, yang kira-kira tidak bisa “dikuasai” anak dengan sendirinya tentu berbeda-beda. Misalnya, Ada anak yang bisa belajar matematika dengan sendirinya, ada anak yang perlu bantuan.
Bagaimana dengan agama? Jika memperlakukan agama sebagai “bagian dari keseharian” sepertinya yang pernah ditulis Pak Yudi Arianto dalam note-nya, maka “pelajaran agama” tidak perlu dimasukkan dalam “subyek” yang perlu diajarkan ke anak sebagai “formal instruction”. Keluarga lain mungkin perlu memasukkannya kedalam setiap subyek yang lain, sehingga jadi satu kesatuan. Mengenai hafalan alquran, misalnya sharing lain dari Mbak Ratu Vanda, hafalan al-quran dilakukan 10-15 menit sehari selesai solat magrib dengan cara menyenangkan ternyata cukup efektif.
Yang perlu jadi catatan adalah, anak belajar sebagaimana orang dewasa belajar, diantaranya yaitu, untuk meng-upgrade diri, memahami bagaimana dunia bekerja, untuk mengenal Tuhannya dan lingkungannya lebih baik. Belajar disini bukanlah belajar untuk menghadapi ujian/tes.

Waktu yang tersisa

Dengan menganggap “formal teaching” hanya memerlukan 15 menit hingga 2 jam sehari, lalu, seharian itu anak ngapain aja ya??
Banyak orangtua yang selalu kuatir jika anak punya “waktu luang” yang “tersia-siakan”. Bagi anak yang suka kegiatan aktif, akan dianggap senangnya “main melulu”, sedangkan anak yang suka kegiatan pasif, akan dianggap senangnya “malas-malasan”.Di lain pihak, orangtua lain mungkin ada rasa kuatir anak akan merasa bosan.
Yang perlu diingat adalah, “membebaskan” anak untuk punya waktu luang artinya memberi kesempatan mereka untuk mengetahui dirinya sendiri, untuk punya pemikiran sendiri, dan untuk belajar melawan rasa bosan dengan punya kreativitas dan inovasi dari dirinya sendiri. Selain itu, mempunyai waktu “sendiri untuk diri sendiri” adalah skill yang sangat berguna bagi anak juga.
Tips berikut ini adalah dari Matt James yang saya kembangkan sedikit untuk membuat “waktu luang” menjadi lebih menarik adalah sebagai berikut:
  1. Membangun dan membentuk lingkungan rumah yang menarik untuk di eksplorasi, tergantung dari keputusan keluarga. Satu keluarga akan membangun perpustakaan keluarga dan memenuhi dengan koleksi-koleksi menarik, sementara yang lain akan merasa cukup dengan googling di internet. Satu keluarga memutuskan mematikan TV, sementara keluarga lain berlangganan TV kabel sebagai investasi. Satu keluarga memutuskan menggunakan gadget seperti komputer, iPad, playstation, dan lain sebagainya sebagai bagian dari keseharian belajar, sedangkan keluarga lain memutuskan untuk menunda mengenalkan anak ke gadget sampe waktu tertentu.
  2. Menghindari praktik-praktik yang akan membuat anak jadi enggan membaca.
  3. Dilibatkan dalam urusan rumah tangga (household chores) sebagai bagian dari lifeskill, seperti memasak, membersihkan rumah, dan lain sebagainya.
  4. ]Merencanakan kegiatan keluarga bersama dan field trip secara reguler sebagai bagian dari keseharian belajar
  5. ]Terlibat dalam kegiatan di lingkungan rumah, sebagai bagian dari volunteering/kerja sosial
  6. Mendaftar ke kursus/les yang berhubungan dengan hobi dan kesukaan anak.
  7. Merencanakan play dates (kencan bermain) dengan sesama Homeschooler
Demikianlah kesimpulan saya saat ini. Karena tentunya masih banyak banget yang belum saya cover dan kekurangan disana sini, mohon masukan dan tambahan dari teman-teman sekalian, supaya kita bisa revisi dan update sama-sama. Terima kasih juga buat teman-teman senior yang namanya saya sebut diatas.
Happy homeschooling!! ^_^ http://ummiummi.com/membuat-jadwal-belajar-dalam-homeschooling

Keluarga Penghafal Alquran


Ada seseorang yang sering menasihati saya, “Kalau ingin anak hafal Alquran, orang tuanya juga harus hafal Alquran.”
Terdengar idealis dan “susah amat” ya? Namun, memang begitulah sepatutnya. Meskipun mungkin tiap orang tua akan sampai pada hasil yang berbeda, minimal setiap dari kita selalu ada di jalur usaha.

Disemangati oleh kisah dua anak yatim dan orang tua mereka yang saleh,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحاً فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu ….” (Q.s. Al-Kahfi:82)
Diingatkan oleh pesan bahwa berdakwah dengan lisan dibarengi amal punya dampak berbeda dibandingkan sekadar berdakwah dengan lisan.
Juga peringatan Allah terhadap kaum Yahudi,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (Q.s. Al-Baqarah:44)
Kalau pun belum bisa jadi penghafal Alquran, insyaalloh usaha kita tak ‘kan sia-sia berhempasan,
نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Q.s. Yusuf:56)
Bukanlah status “penghafal Alquran” yang kita citakan. Namun sungguh, kedudukan istimewa di sisi Allah yang kita damba,
أهل القرآن هم أهل الله وخاصته
Ahli Alquran adalah orang yang dekat dengan Allah dan menjadi orang yang khusus di sisi-Nya.”
Bandar Universiti, 25 November 2011,
Athirah

Mendoakan Anak


Sebuah sub-judul di e-book berjudul “Jurus Jitu Mendidik Anak” mengingatkan kita kepada kisah maqbulnya doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
Ya Allah, pahamkanlah dia akan ilmu agama dan ajarilah dia ta’wilnya.”
(Sanadnya shahih; diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain)
Doa yang ringkas namun terkabul di sisi Allah. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tumbuh menjadi seorang yang faqih dalam ilmu agama, ahli dalam ilmu tafsir Alquran, serta layak digelari “turjumanul qur’an“.
Doa orang tua bagi anaknya
Dalam e-book Jurus Jitu Mendidik Anak, kita kembali disadarkan:
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan
anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa’ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya,
ثَلَازُ دَعَىَاخٍ هُسِرَجَاتَاخْ لَا شَكَّ فِيهِيَّ دَعِىَجُ الْىَالِدِ وَدَعِىَجُ الْوُسَافِسِ وَدَعِىَجُ الْوَظْلُىمِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. mendoakan-anak, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. (H.r. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany)
Nasihat lain di e-book tersebut juga tak kalah penting untuk dicamkan:
Doa orang tua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhatihatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang
anaknya yang durhaka.
Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”.
Ya” sahutnya.
Engkau sendiri yang merusak anakmu” pungkas sang Imam.
Berdoa dalam kondisi apa saja
Tak mesti ketika sujud dalam shalat. Tak mesti dalam keheningan malam.
Mendoakan anak bisa dilakukan dalam sela-sela aktivitas kita sehari-hari bersamanya.
Saat kita sedang masak di dapur dan anak sedang mondar-mandir pegang ini-itu, jangan ragu membelainya dengan lembut sembari berdoa kepada Allah, “Allahumma faqqihhu fid din wa ‘allimhut ta’wil“.
Saat anak menolong kita mengambil suatu barang, jangan lupa doakan dia, “Jazakallahu khayran.” Maknanya indah: semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Kebaikan yang datang dari sisi Allah tentu menjadi kabar gembira bagi hamba-Nya.
Saat anak mampu membaca huruf alif sampai ya’ dengan makhraj yang benar, sertakan pula doa penuh makna untuknya, “Barakallahu fik.” Maknanya dalam: semoga Allah memberkahimu. Dalam keberkahan terdapat kebaikan yang menetap dan terus bertambah.
Saat anak duduk diam di dekat kita sambil membuka mushaf Alquran, doakan kebaikan baginya, “Zadakillahu hirshan fil ‘amalish shalih.” Semoga Allah menambah semangatmu dalam beramal shalih.
Serta berbagai redaksi doa lainnya, seperti: “Ya Allah, cintailah keluarga kami,” “Ya Allah, kumpulkanlah kami di surga firdaus-Mu,” “Ya Allah, jagalah dia.”
Semoga Allah berkenan mengabulkan doa-doa kita untuk anak kita-kita. Allah adalah Sang Khaliq yang Maha Mengabulkan doa.
Bandar Universiti, 25 November 2011,
Athirah

Apakah yang Anda Lakukan ketika Anak Anda Menangis?

Tahukah Anda kisah batang pohon kurma yang menangis?
Bukan, ini bukan kisah fiktif atau sekedar dongeng pengantar tidur. Kisah ini benar-benar terjadi di zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diceritakan oleh banyak sahabat sehingga mencapai derajaat hadits mutawattir.

Dahulu, di awal masa hijrah, masjid Nabawi belum memiliki mimbar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah dengan bersandar pada sebatang pohon kurma. Sampai suatu saat, mimbar nabi yang baru telah dibuat. Batang pohon kurma itu pun dipindahkan, digantikan dengan mimbar yang baru.
Sampailah saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di mimbar yang baru untuk berkhotbah. Ternyata batang pohon kurma itu menjerit dan menangis seperti suara unta yang rindu dan memanggil anaknya. Saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung turun dari mimbar dan memeluknya sampai tenang sebagaimana bayi tenang ketika dibuai.
Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika aku tidak memeluknya, ia akan terus menangis hingga hari kiamat.” *
Ternyata salah satu sebab batang pohon kurma itu menangis karena kerinduan yang mendalam mendengar nasihat-nasihat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saya merasa, sisi menakjubkan dari kisah ini bukan sekedar tangisan si pohon kurma. Bagaimana sebatang pohon kurma bisa rindu teramat sangat mendengar nasihat dan dzikir yang bisa disampaikan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sekedar itu.
Sisi menakjubkan lain yang saya rasakan dari kisah ini adalah bagaimana nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan aktifitas yang sedang/akan dilakukan untuk menghampiri sebatang pohon kurma. Untuk memeluknya.  Untuk menenangkannya.
Lalu…
Apakah kita juga seperti itu ketika anak kita menangis?
Sayangnya, terkadang yang terjadi adalah sebaliknya.
Ada yang segera menghardik. Memerintahkan si anak untuk segera diam.
Tidak bertanya atau bahkan tidak peduli,  karena sebab apa si anak menangis.
Ada pula yang lupa memberi kata-kata penghibur yang menenangkan, apalagi pelukan yang menghangatkan. Tapi  justru memberikan kata-kata yang menjatuhkan, “Cengeng…”
Mari kita tarik nafas sejenak.
Ah…begitulah.
Menjadi orang tua, memang tidak ada sekolahnya. Tidak pula ada latihannya…Tidak ada gladi bersihnya.
Maka kalau kita melakukan kesalahan dalam sikap, itu masih bisa dianggap wajar. Kehidupan yang kita jalani itulah masa-masa kita berlatih untuk menjadi orang tua yang lebih baik lagi…dan lebih baik lagi.
Tangisan anak memang tidak harus melulu dihadapi dengan pelukan. Tulisan ini hanya pengantar untuk kita para orang tua untuk merenung dan mengoreksi sikap yang perlu dikoreksi ketika berhadapan dengan anak saat ia menangis. Karena saya sama seperti Anda. Sama-sama masih harus terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik :).
* HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Shaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, no. 1162
cizkah
Jogja, Rajab 1435 H/Mei 2014
Artikel ummiummi.com

Bagaimana Rosululloh Mendidik Anak 4-10 Tahun


Menasihati dan Mengajari Saat Berjalan Bersama
Berikut ini adalah kisah yang dituturkan Abdullah bin Abbas ketika diajak jalan bersama Rasulullah di atas kendaraan beliau. Dalam perjalanan ini, beliau mengajarkan kepadanya beberapa pelajaran sesuai jenjang usia dan kemampuan daya pikirannya melalui dialog ringkas, langsung dan mudah. Rasulullah bersabda, “Nak, aku akan memberimu beberapa pelajaran: peliharalah Allah, niscaya Dia akan balas memeliharamu. Peliharalah Allah, niscaya kamu akan menjumpai-Nya dihadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, dan jika kamu meminta pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya andaikata manusia persatu padu untuk memberimu suatu manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat memberikannya kepadamu, kecuali mereka telah ditakdirkan oleh Allah untukmu. Dan seandainya mereka bersatu padu untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat membahayakanmu, kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah bagimu, pena telah diangkat dan lembaran catatan telah mengering.”
Menarik Perhatian Anak dengan Ucapan yang Lembut
Adakalanya Rasulullah memanggil anak dengan panggilan yang paling sesuai dengan jenjang usianya, seperti ungkapan, “Anak muda, sesungguhnya aku akan memberimu beberapa pelajaran.” Dan seterusnya. Adakalanya beliau memanggil dengan sebutan, “Anakku” seperti beliau lakukan kepada Anas saat turun ayat hijab, “Hai anakku, mundurlah kamu ke belakang.”Rasulullah menyebut anak-anak Ja’far, putra pamannya, “Panggilkanlah anak-anak saudaraku.” Beliau pun menanyakan kepada ibunya, “Mengapa aku lihat tubuh keponakanku kurus-kurus seperti anak-anak yang sakit?”[2]
Seseorang lebih terkesan bila dipanggil dengan julukan, gelar, dan predikat yang baik dari pada nama aslinya. Tak terkecuali anak-anak. Ironisnya, yang sering kali kita dapati anak-anak yang dipanggil dengan julukan tidak enak didengar, seperti: gundul, gembrot, kribo, dan sebagainya.
Menghargai Mainan Anak dan Jangan Melarangnya Bermain
Apa yang akan Anda katakan ketika mengetahui bahwa Hasan bin Ali mempunyai anak anjing untuk mainannya, Abu Umair bin Abu Thalhah mempunyai burung pipit untuk mainannya, dan Aisyah mempunyai boneka perempuan untuk mainannya. Setelah dinikahi Rasulullah, Aisyah membawa serta boneka mainannya ke rumah beliau, bahkan Rasulullah mengajak semua teman-teman Aisyah ke dalam rumah untuk bermain bersama Aisyah. Realitas seperti ini menunjukkan pengakuan dari Rasulullah terhadap kebutuhan anak kecil terhadap mainan, hiburan dan pemenuhan kecenderungan (bakat).Al Ghazali mengatakan, “Usai keluar dari sekolah, sang anak hendaknya diizinkan untuk bermain dengan mainan yang disuainya untuk merehatkan diri dari kelelahan belajar di sekolah. Sebab, melarang anak bermain dan hanya disuruh belajar terus, akan menjenuhkan pikirannya, memadamkan kecerdasannya, dan membuat masa kecilnya kurang bahagia. Anak yang tidak boleh bermain pada akhirnya akan berontak dari tekanan itu dengan berbagai macam cara.”[3] Al Ghazali juga menambahkan, “Hendaknya sang anak dibiasakan berjalan kaki, bergerak, dan berolah raga pada sebagian waktu siang agar tidak menjadi anak yang pemalas.”
Tidak Membubarkan Anak yang Sedang Bermain
Anas berkata, “Pada suatu hari aku melayani Rasulullah. Setelah tugasku selesai, aku berkata dalam hati, ‘Rasulullah pasti sedang istirahat siang.’ Akhirnya, aku keluar ke tempat anak-anak bermain. Aku menyaksikan mereka sedang bermain. Tidak lama kemudian, Rasulullah datang seraya mengucapkan salam kepada anak-anak yang sedang bermain. Beliau lalu memanggil dan menyuruhku untuk suatu keperluan. Aku pun segera pergi untuk menunaikannya, sedangkan beliau duduk di bawah sebuah pohon hingga aku kembali….”[4]
Selain penting bagi pertumbuhan mental dan fisik anak, permainan mereka perlukan sebagaimana orang dewasa memerlukan pekerjaan. Pikirkanlah dahulu untuk membubarkan mereka saat bermain. Kalau untuk memperingatkan karena waktu yang tidak tepat atau membahayakan diri dan orang lain, lakukan dengan penuh bijaksana.
Tidak Memisahkan Anak dari Keluarganya
Abu Abdurrahman Al Hubuli meriwayatkan bahwa dalam suatu peperangan Abu Ayyub berada dalam suatu pasukan, kemudian anak-anak dipisahkan dari ibu-ibu mereka, sehingga anak-anak itu menangis. Abu Ayyub pun segera bertindak dan mengembalikan anak-anak itu kepada ibunya masing-masing. Ia lalu mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, niscaya Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat.”[5]Rasulullah juga melarang seseorang duduk di tengah-tengah antara seorang ayah dan anaknya dalam suatu majelis. Beliau bersabda, “Janganlah seseorang duduk di antara seorang ayah dan anaknya dalam sebuah majelis.”[6]
Jangan Mencela Anak
Anas mengatakan, “Aku melayani Rasulullah selama 10 tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah mengatakan, ‘Ah,’ tidak pernah menanyakan, ‘Mengapa engkau lakukan itu?’ dan tidak pula mengatakan, ‘Mengapa engkau tidak melakukan itu?’.”[7]Anas juga mengatakan, “Beliau tidak pernah sekali pun memerintahkan sesuatu kepadaku, kemudian akan manangguhkan pelaksanaannya, lalu beliau mencelaku. Jika ada salah seorang dari ahli baitnya mencelaku, beliau justru membelaku, ‘Biarkanlah dia, seandainya hal itu ditakdirkan terjadi, pastilah terjadi.”Al Ghazali memberi nasihat, “Janganlah banyak mengarahkan anak dengan celaan karena yang bersangkutan akan menjadi terbiasa dengan celaan. Dengan celaan anak akan bertambah berani melakukan keburukan dan nasihat pun tidak dapat mempengaruhi hatinya lagi. Hendaklah seorang pendidik selalu menjaga wibawa dalam berbicara dengan anak. Untuk itu, janganlah ia sering mencela, kecuali sesekali saja bila diperlukan. Hendaknya sang ibu mempertakuti anaknya dengan ayahnya serta membantu sang ayah mencegah anak dari melakukan keburukan.”[8]
Mengajarkan Akhlak Mulia
Anas menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Wahai anakku, jika engkau mampu membersihkan hatimua dari kecurangan terhadap seseorang, baik pagi hari maupun petang hari, maka lakukanlah. Yang demikian itu termasuk tuntunanku. Barang siapa yang menghidupkan tuntunanku, berarti ia mencintaiku, dan barang siapa mencintaiku niscaya akan bersamaku di dalam surga.”[9]
Al Ghazali mengatakan, “Anak harus dibiasakan agar tidak meludah atau mengeluarkan ingus di majelisnya, menguap di hadapan orang lain, membelakangi orang lain, bertumpang kaki, bertopang dagu, dan menyandarkan kepala ke lengan, karena beberapa sikap ini menunjukkan pelakunya sebagai orang pemalas. Anak harus diajari cara duduk yang baik dan tidak boleh banyak bicara. Perlu dijelaskan pula bahwa banyak bicara termasuk perbuatan tercela dan tidak pantas dilakukan. Laranglah anak membuat isyarat dengan kepala, baik membenarkan maupun mendustakan, agar tidak terbiasa melakukannya sejak kecil.”[10]
Mendoakan Kebaikan, Menghindari Doa Keburukan
Jabir bin Abdullah berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk anak-anak kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk pelayan kalian, dan jangan pula kalian mendoakan keburukan untuk harta benda kalian, agar jangan sampai kalian menjumpai suatu saat yang di dalamnya Allah memberi semua permintaanmu, kemudian mengabulkan doa kalian.”[11]
Orang tua harus dapat mengontrol penuh lisannya, agar tidak keluar ancaman atau ucapan yang bisa menjadi doa keburukan bagi sang anak. Doa itu tak harus sesuatu yang khusus diucapkan saat bersimpuh di hadapan Allah. Ucapan seketika, seperti, “Dasar anak bandel,” pun bisa bermakna doa. Dan doa orang tua kepada anak itu bakal manjur.[12]
Meminta Izin Berkenaan dengan Hak Anak
Sahl bin Sa’ad meriwayatkan bahwa disajikan kepada Rasulullah segelas minuman, lalu beliau meminumnya, sedang disebelah kanan beliau terdapat seorang anak dan disebelah kirinya terdapat orang tua. Sesudah minum, beliau bertanya kepada si anak, “Apakah engkau setuju bila aku memberi minum mereka terlebih dahulu?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan memberikan bagianku darimu.” Rasulullah pun menyerahkan wadah itu ke tangannya.[13]
Mengajari Anak Menyimpan Rahasia
Abdulllah bin Ja’far bercerita, “Pada suatu hari Rasulullah memboncengku di belakangnya. Beliau kemudian membisikkan suatu pembicaraan kepadaku agar tidak terdengar oleh seorang pun.”[14]
Makan Bersama Anak Sembari Memberikan Pengarahan dan Meluruskan Kekeliruan Mereka
Umar bin Abu Salamah bercerita, “Ketika masih kecil, aku berada di pangkuan Rasulullah dan tanganku menjalar ke mana-mana di atas nampan. Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Hai bocah, sebutlah nama Allah (berdoa), makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah makanan yang ada di dekatmu.’ Maka senantiasa seperti itulah cara makanku sesudahnya.”[15]
Abdullah bin Umar tidak pernah melakukan shalat malam, maka Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah bin Umar seandainya dia shalat malam.” Sesudah itu, dia hanya tidur sebentar saja setiap malamnya.[16]
Berlaku Adil Kepada Anak, Tanpa Membedakan Laki-laki atau Perempuan
Nu’man bin Basyir pernah datang kepada Rasulullah lalu berkata, “Sungguh, aku telah memberikan sesuatu kepada anak laki-lakiku yang dari Amarah binti Rawwahah, lalu Amarah menyuruhku untuk menghadap kepadamu agar engkau menyaksikannya, ya Rasulullah.” Rasulullah bertanya, “Apakah engkau juga memberikan hal yang sama kepada anak-anakmu yang lain?” Ia menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kamu kepada Allah dan berlaku adillah kamu diantara anak-anakmu.”  Nu’man pun mencabut kembali pemberiannya.[17]
Melerai Anak yang Terlibat Perkelahian
Rasulullah pernah memisahkan dua bocah yang terlibat dalam perkelahian. Beliau meluruskan pemikiran mereka dan menyerukan kepada orang-orang dewasa untuk menangkal kezaliman.[18]
Gali Potensi Mereka
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Di antara pepohonan yang tumbuh di daerah pedalaman terdapat sebuah pohon yang dedaunannya tidak pernah gugur, dan itulah perumpamaan seorang muslim. Ceritakanlah kepadaku pohon apakah itu?” Orang-orang menebaknya dengan beragam pepohonan yang tumbuh di daerah pedalaman tersebut. Ibnu Umar berkata, ‘Dalam hatiku terbetik bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, tetapi aku merasa malu untuk mengutarakannya (karena saat itu usiaku masih sangat muda). Selanjutnya, mereka pun menyerah dan berkata, ‘Ceritakanlah kepada kami wahai Rasulullah, pohon apakah itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Itulah pohon kurma’.”[19]
Rangsang dengan Hadiah
Rasulullah pernah membariskan Abdulullah, Ubaidillah dan sejumlah anak-anak pamannya, Al Abbas, dalam suatu barisan, kemudian beliau bersabda, “Siapa yang paling dahulu sampai kepadaku, dia akan mendapatkan (hadiah) ini.” Mereka pun berlomba lari menuju tempat Rasulullah berada. Setelah mereka sampai di tempat beliau, ada yang memeluk punggung dan ada pula yang memeluk dada beliau. Rasulullah menciumi mereka semua serta menepati janji kepada mereka.[20]
Menghibur Anak Yatim dan Menangis Karena Mereka
Rasulullah bersabda, “Aku dan pengasuh anak yatim itu di surga seperti ini.” Beliau menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah dengan meregangkan sedikit saja.[21]
Rasulullah pernah menciumi dan bercucuran air mata ketika melihat anak-anak Ja’far menjadi yatim karena ayahnya gugur dalam medan perang, beliau juga menghibur mereka.[22]
Tidak Merampas Hak Anak Yatim
Rasulullah bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya aku mengharamkan hak dua orang lemah, yaitu anak yatim dan wanita.”[23] Dengan demikian, seleksilah benar-benar harta kita. Adakah di dalamnya hak anak yatim yang kita rampas? Sebab, ancaman memakan harta mereka begitu jelas dan gamblang.
Melarang Bermain Saat Setan Berkeliaran dan Lindungilah dari penyakit ‘Ain
Rasulullah bersabda, “Apabila malam mulai gelap (malam telah tiba), tahanlah anak-anak kalian, karena setan saat itu sedang bertebaran. Apabila telah berlalu sesaat dari waktu maghrib, lepaskanlah mereka….”[24]Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah melihat anak yang sedang menangis kemudian beliau bersabda, “Mengapa bayi kelian menangis? Mengapa tidak kalian ruqyah dari penyakit ‘ain?”[25]
Mengajari Azan dan Shalat
Abu Mahdzurah bercerita, “Aku bersama 10 orang  remaja berangkat bersama Rasulullah dan rombongan. Pada saat itu, Rasulullah adalah orang paling kami benci. Mereka kemudian menyerukan azan dan kami yang 10 orang remaja ikut pula menyerukan azan dengan maksud mengolok-ngolok mereka. Rasulullah bersabda, ‘Bawa kemari 10 orang remaja itu!’ Beliau memerintahkan, ‘Azanlah kalian!’ Kami pun menyerukan azan.Rasulullah bersabda, ‘Alangkah baiknya suara anak remaja yang baru kudengar suaranya ini. Sekarang pergilah kamu dan jadilah juru azan buat penduduk Mekkah.’ Beliau bersabda demikian seraya mengusap ubun-ubun Abu Mahdzurah, kemudian beliau mengajarinya azan dan bersabda kepadanya, ‘Tentu engkau sudah hafal bukan?’ Abu Mahdzurah tidak mencukur rambutnya karena Rasulullah waktu itu mengusapnya.[26]Mengenai shalat, Rasulullah bersabda, “Ajarilah anak-anak kalian shalat sejak usia 7 tahun dan pukullah ia karena meninggalkannya bila telah berusia 10 tahun.”[27]Anas bin Malik berkata, “Pada suatu hari aku pernah masuk ke tempat Rasulullah dan yang ada hanyalah beliau, aku, ibuku, dan Ummu Haram, bibiku. Tiba-tiba Rasulullah menemui kami lalu bersabda, ‘Maukah bila aku mengimami shalat untuk kalian?’ Kala itu bukan waktu shalat. Maka salah seorang berkata, ‘Bagaimana Anas di posisikan di dekat beliau?’ Beliau menempatkanku di kanan beliau lalu beliau shalat bersama kami…”[28]
Tanpa cangung, Rasulullah mengajak anak shalat berjamaah meski tak ada orang selain anak tersebut, tanpa ragu pula, beliau mengangkat pemuda yang membencinya untuk menjadi tukang azan atau muazin kota Mekkah.
Mengajari Anak Sopan Santun dan Keberanian
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa Rasulullah pernah meminta izin kepada anak ketika beliau hendak memberi minum kepada tamu yang dewasa terlebih dahulu sebelum dia. Namun anak itu menolak. Saat itu Rasulullah tidak bersikap kasar dan tidak menegurnya.Di antara keberanian yang beretika ialah anak tidak dibiarkan berbuat sesuatu dengan sembunyi-sembunyi. Al Ghazali mengatakan, “Anak hendaknya dicegah dari mengerjakan apa pun dengan cara sembunyi-sembunyi. Sebab, ketika anak menyembunyikannya berarti dia menyakini perbuatan tersebut buruk dan tidak pantas dilakukan.[29]
Menjadikan Anak yang Lebih Muda sebagai Imam Shalat dan Pemimpin dalam Perjalanan
Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Bila kalian sedang berpergian, hendaknya yang menjadi imam adalah yang paling bagus bacaannya di antara kalian, walaupun ia orang yang paling muda. Bila ia telah menjadi imam berarti ia adalah pemimpin.”[30] Dan dikuatkan dengan hadits shahih, Amru bin Salamah berkata, Rasulullah bersabda, “Hendaknya yang menjadi imam kalian adalah yang paling banyak bacaan Al Qur’annya.”[31]
Sumber:Syeih Jamal Abdurrahman dalam bukunya yang berjudul “Athfalul Muslimin Kaifa Robaahumun Nabiyyul
 Amin Saw” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Agus Suwandi dengan Judul  “Islamic Parenting, Pendidikan Anak Metode Nabi” Solo: Aqwam, 2010(pkscibitung)
 http://pksbangilan.blogspot.com/2014/05/bagaimana-rosululloh-mendidik-anak-4-10.html

http://pksbangilan.blogspot.com/2014/05/bagaimana-rosululloh-mendidik-anak-4-10.html

Homeschooling memaknai belajar


Robert T. Kiyosaki, dalam salah satu bukunya mengenai financial literacy menuliskan bahwa arti kata learn (belajar) dalam bahasa Latin adalah “mengeluarkan”. Jadi, yang dilakukan dalam kegiatan belajar itu sebenarnya fokusnya adalah mengeluarkan (potensi anak).
Kalau pendapat ini diterima, tentu kita akan melihat bahwa model belajar yang kita lihat pada saat ini tidak sesuai dengan filosofi belajar itu. Pada saat ini, proses belajar sebagian besar berisi kegiatan memasukkan informasi dari luar kepada anak.
Anak diminta menghafal dan menguasai informasi (baca: mata pelajaran). Kita/guru tidak peduli apakah informasi itu bermanfaat atau tidak, apakah relevan atau tidak, apakah disukai atau tidak. Asumsi mulia yang ada dalam benak kita, informasi itu penting dan pasti akan bermanfaat buat anak di masa depan. Dengan model belajar ini, potensi anak kita letakkan prioritasnya di bawah, entah di sebelah mana.
***
Jika kita mengambil filosofi dasar yang berbeda, dengan memandang belajar sebagai proses untuk mengeluarkan potensi anak, kita akan menempuh rute/jalan yang berbeda dengan apa yang selama ini kita peroleh/lihat di bangku sekolah. Dengan berfokus pada aktivitas “mengeluarkan”, bukan “mengisi”; kita akan melakukan kegiatan-kegiatan yang berbeda. Kegiatan belajar akan menjadi menyenangkan dan bersifat lebih eksploratif. Dengan fokus untuk “menumbuhkan”, bukan “mencurahkan”; kita juga akan memandang peran kita dengan cara yang berbeda pula. Kita bukan penguasa ilmu pengetahuan, tetapi fasilitator yang membantu pertumbuhan anak untuk meraih potensi terbaiknya.
***
Homeschooling, sebagai model pendidikan alternatif, memberikan kesempatan jika kita memilih membesarkan anak dengan filosofi pendidikan yang berbeda dengan yang ada. Dalam HS, kita bisa memilih untuk memaknai belajar sebagai sebuah proses “mengeluarkan potensi” dan “menumbuhkan” kebaikan-kebaikan internal yang ada pada anak.

Lima belas menit per hari


Dari proses belajar matematika dan bahasa Inggris yang difasilitasi oleh Bentang Ilmu, ada pola belajar anak-anak yang menarik diamati.
Rata-rata, hampir semua anak excited dan sangat menikmati proses belajar bahasa Inggris menggunakan media Raz Kids. Demikian juga, anak-anak yang menggunakan IXL Math sangat antusias. Orangtua pun demikian.
Di dalam antusiasme itu, anak bisa menyelesaikan beberapa buku dalam satu hari. Mereka mengebut dan berusaha menyelesaikan soal-soal matematika sebanyak mungkin dan secepatnya.
Melihat fenomena ini, tentu saja orangtua bahagia. Bagaimana tidak? Anak sangat antusias belajar matematika dan bahasa Inggris, tentunya itu sebuah hal yang membahagiakan. Dan setelah mendampingi anak beberapa hari, orangtua kemudian nyaman dan yakin bahwa sistem ini cocok.
Apakah demikian? Apakah pendampingan orangtua tak perlu dilakukan lagi?
Ternyata tak sesederhana itu.
Begitu orangtua melonggarkan pendampingan karena kesibukan atau hal-hal lainnya, ternyata anak menjadi kendur. Semangat itu hanya berjalan selama satu minggu dan anak kemudian tak tertarik lagi, berganti minat pada yang lain.
**
Jadi, tantangan belajar itu sebenarnya tak terletak di awal, tetapi terletak pada minggu kedua, bulan kedua, dan waktu-waktu selanjutnya.. apakah anak masih terus konsisten belajar.
Nah, di sinilah letak peran orangtua. Ini adalah proses untuk membantu anak meningkatkan kapasitas belajarnya.
Caranya bisa dimulai dengan membangun kesepakatan dengan anak mengenai waktu belajar yang terjadwal. Proses belajar itu tak harus lama, bahkan tak boleh lama. Satu sesi belajar sekitar 15 menit, maksimal 30 menit; tapi dilakukan secara konsisten setiap waktu.
Lima belas menit per hari, satu buku Raz Kids per hari, satu skill IXL Math per hari. Itu adalah contoh kesepakatan yang dapat dibuat bersama anak. Kalau anak masih semangat dan mau menambah, boleh-boleh saja. Tetapi kesepakatan yang utama adalah belajar dengan jadwal yang disepakati.
Kembali, di sinilah peran pendampingan orangtua. Meluangkan waktu 15-30 menit/hari untuk mendampingi anak belajar pada jadwal-jadwal yang disepakati. Walaupun kelihatannya tak lama, efektivitas pendampingan sangat ditentukan oleh “kehadiran penuh” orangtua.
**
Lima belas menit per hari adalah cukup. Kalau bisa setengah jam tentu baik juga. Yang penting itu dilakukan karena anaknya memang suka.
Dengan memperpendek waktu belajar, kegiatan belajar akan menjadi sebuah hal yang dinikmati dan ditunggu-tunggu. Dalam jangka panjang, proses ini akan membantu anak membentuk kebiasaan belajar dan membangun kapasitas/stamina belajarnya untuk jangka panjang.

Membangun konsistensi anak


Salah satu tantangan dalam memfasilitasi proses belajar anak-anak adalah membangun motivasi internal dan konsistensi dalam belajar.
Pada dasarnya anak-anak memang masih dalam proses pertumbuhan minatnya. Hal itu menyebabkan mereka cenderung memiliki rentang minat dan konsentrasi yang pendek. Bersemangat pada sebuah hal sehingga seolah-olah hanya hal yang diminatinya itu yang menjadi satu-satunya hal penting di dalam dunianya. Kemudian, tiba-tiba beberapa hari kemudian dia meninggalkannya begitu saja dan beralih pada yang lain.
**
Minat dan motif pribadi adalah sebuah dorongan yang sangat luar biasa untuk proses belajar yang menyenangkan dan efektif. Ketika anak-anak tumbuh semakin besar, minat dan ekspresi ini perlu ditambahkan dengan konsistensi.
Tujuan utama mendidik konsistensi adalah melatih anak untuk bertanggung jawab pada proses yang dilakukannya. Dan dalam konteks belajar, konsistensi adalah bagian dari proses pendalaman, sehingga anak tak hanya belajar hal-hal yang ada di permukaan, tapi merasa sudah bisa/menguasai.
**
Berikut ini beberapa tips untuk membangun konsistensi pada anak:
a. Kesepakatan Bersama
Pendidikan konsistensi dan tanggung jawab bisa diawali dengan dialog yang membentuk kesepakatan-kesepakatan antara orangtua-anak. Kesepakatan itu juga meliputi konsekuensi (positif dan negatif). Karena anak terlibat, maka kesepakatan dapat menjadi pintu masuk bagi anak untuk belajar tentang konsistensi dengan menepati kesepakatan yang sudah dibuat.
b. Ketuntasan Proyek
Proses belajar konsistensi bisa dimulai dari hal-hal sederhana, dengan mengajarkan kepada anak untuk menyelesaikan segala sesuatu hingga tuntas. Anak belajar untuk tak berhenti di tengah jalan, tetapi bertahan hingga akhir.
c.  Paket Kecil tapi Berulang
Belajar dalam waktu yang pendek, tetapi berulang adalah salah satu kunci menjaga konsistensi. Membaca satu buku kecil atau satu bab setiap hari, tetapi dilakukan setiap hari akan memberikan panduan kepada anak untuk belajar konsistensi. Demikian pun, belajar sebuah hal selama 1/2 jam yang dilakukan secara kontinu lebih baik daripada menyelesaikan banyak hal dalam satu waktu, tetapi kemudian sama sekali tak menyentuhnya dalam jangka waktu yang lama.
d. Membuat Jadwal
Jadwal yang disepakati bersama anak juga dapat digunakan melatih anak untuk konsisten. Jadwal ditetapkan secara periodik, misalnya harian atau mingguan; dan anak belajar untuk menaati jadwal yang sudah dibuat. Perubahan tak boleh dilakukan di tengah jadwal, tetapi baru bisa dilakukan setelah selesai sebuah periode tertentu.
e. Pembimbingan
Tak bisa dilepaskan adalah peran orangtua untuk membimbing anak sampai anak dapat membangun motif internalnya. Pendampingan itu sangat bertahap dan perlu dilakukan secara kontinu. Orangtua tak boleh puas melihat anak yang bersemangat belajar dalam satu minggu pertama dan kemudian melepaskannya begitu saja. Proses itu masih perlu terus dibangun dengan semangat, pembimbingan, dialog, dan interaksi yang terus-menerus bersama anak.

Bagaimana Mengawali Proses Belajar Melayani?


Dalam posting sebelumnya, aku membuat tulisan tentang “Moore Formula: Belajar Melayani“. Intinya, keterampilan melayani adalah sebuah keterampilan penting dan substansial dalam proses pendidikan anak.
Oleh karena itu, melayani adalah sebuah materi yang perlu dipelajari anak, bukan hanya dibiarkan mengalir begitu saja. Anak perlu menguasai keterampilan ini, bukan hanya menguasai pelajaran sekolah dan mendapat nilai baik.
Proses belajar melayani bisa dimulai dari pelayanan dalam lingkup yang terkecil, yaitu pelayanan terhadap keluarga.
Proses ini bisa dijalani anak melalui bebeberapa jalur yang berbeda, yang berlangsung secara parallel.

Jalur pertama: inisiatif anak
Setiap anak kecil pasti tertarik dengan pekerjaan yang dilakukan orangtua. Ketertarikan itu adalah pintu masuk untuk mereka dalam proses belajar melayani. Ketika momen itu datang, lapangkan hati Anda dan izinkan mereka untuk membantu. Mungkin memang sedikit merepotkan. Tetapi momentum seperti ini sangat penting dalam perkembangan jangka panjang mereka.
Tantangan bagi kita adalah memberikan kesempatan itu kepada anak. Semakin sering kesempatan itu diberikan, semakin berkembang keterampilan anak. Apalagi ketika inisiatif anak itu diapresiasi secara verbal (lisan) di hadapan anggota keluarga lain.

Jalur kedua: belajar memiliki tugas
Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan anak-anak. Dari proses ketertarikan, misalnya: mengangkat telepon, kita bisa menjadikannya sebagai tugas dan tanggung jawab mereka. Seiring dengan seringnya mereka mengangkat telepon, anak bisa diajari untuk berkomunikasi melalui telepon dengan sikap yang benar.
Sesuai dengan kondisi keluarga, anak bisa mendapat bagian dan peran di dalam tugas pekerjaan keluarga, misalnya: membereskan tempat tidur, mengatur pakaian yang sudah diseterika, mengatur meja, menyapu, mengatur meja, dan sebagainya.
Selama proses belajar bekerja ini, orangtua bisa meningkatkan kualitas keterampilan anak: melakukan dengan ikhlas (tidak bersungut-sungut), merasa berharga, melakukan pekerjaan dengan berkualitas.

Jalur ketiga: membuka wawasan kesadaran
Ketika anak semakin besar, orangtua perlu bercerita tentang proses sosial yang terjadi di dalam keluarga, bahwa setiap anggota saling melayani satu dengan yang lain. Ayah melayani isteri dan anak-anaknya dengan mencari uang dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain. Ibu bekerja, mengurusi rumah, dan lain-lain. Oleh karena itu, semua keluarga perlu saling melayani. Termasuk anak-anak perlu belajar melayani anggota keluarga lain.
Dialog ini diperlukan untuk membangun kesadaran anak agar pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya memiliki makna dan nilai. Dia tak merasa hanya sekedar disuruh dan mengerjakan pekerjaan yang melelahkan. Dia tak melihat pekerjaan ini sebagai beban, tetapi sebagai kontribusi yang bermakna dan membantu keluarganya.
Penjelasan dan dialog semacam ini perlu terus dilakukan sepanjang proses belajar anak. Tentu saja, apresiasi yang tulus akan meneguhkan anak bahwa pekerjaan yang mereka lakukan adalah penting dan bermakna untuk keluarganya.

Homeschooling atau Sekolah adalah Pilihan yang Sah


Memilih pendidikan yang tepat untuk anak adalah tantangan besar untuk setiap orangtua. Setiap orangtua punya visi dan mimpi tentang pendidikan yang ideal untuk anak-anaknya. Ketika visi dan mimpi itu beradu dengan dunia nyata, muncullah pilihan-pilihan.
Di dalam setiap pilihan, pasti ada kelebihan dan kekurangan, pros dan cons. Tidak mungkin pilihan itu isinya bagus semua karena kalau bagus semua, berarti tidak perlu memilih. Dalam alternatif pilihan pendidikan untuk anak, salah satu yang mulai sering muncul saat ini adalah homeschooling atau biasa disebut juga home education, pendidikan berbasis rumah.
***

Apa sih homeschooling?

Homeschooling adalah model pendidikan di mana orangtua memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya. Jadi, ciri utamanya adalah keterlibatan aktif keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan.
Prosesnya bisa diselenggarakan sendiri atau menggunakan infrastruktur yang ada di masyarakat, misalnya: kursus, klub, bimbel, guru privat. Yang penting, esensi yang harus ada: keluarga sebagai pengambil keputusan utama, tidak hanya menitipkan anak pada lembaga tertentu.

Persamaan Homeschooling dan Sekolah

Persamaan homeschooling dan sekolah antara lain adalah:
* sama-sama alat untuk meraih tujuan pendidikan
* eksistensinya diakui oleh negara. Sekolah adalah jalur pendidikan formal, homeschooling adalah jalur pendidikan informal.

Perbedaan Homeschooling dan Sekolah

Walaupun sama-sama merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan, diantaranya:
* menitipkan pada lembaga & profesional (sekolah) vs. keluarga bertanggungjawab (homeschooling)
* standardized (satu standar berlaku utk semua) vs. customized (model disesuaikan per keluarga)
* diatur secara terpusat oleh pemerintah vs. terdistribusi di keluarga
* berbentuk lembaga  vs. keluarga/bukan lembaga
***
Jika Anda adalah orangtua dan tertarik dengan homeschooling, maka tugas besar Anda adalah belajar mengenai homeschooling. Gagasan homeschooling itu harus diketahui lebih dahulu sebelum Anda memutuskan apakah memilih homeschooling atau mengirim anak ke sekolah.
Kalau tidak, maka kemungkinan besar Anda akan terjebak dengan bentuk homeschooling yang memindahkan sekolah ke rumah. Sebab, sekolah adalah satu-satunya model pendidikan yang kita kenal. Padahal, model pendidikan tak hanya sekolah. Padahal, memindahkan model sekolah ke rumah -walaupun boleh saja dilakukan- merupakan bentuk homeschooling yang paling sulit dilakukan.
Rumah berbeda dengan sekolah, baik dalam hal sarana fisik maupun cara kerjanya. Memaksa rumah untuk menjadi seperti sekolah dan membuat orangtua menjadi guru seperti di sekolah adalah sebuah hal yang nyaris mustahil dilakukan. Oleh karena itu, bentuk bentuk homeschooling itu biasanya berbeda dengan sekolah.
Sebagai referensi tambahan, Anda dapat membaca beberapa artikel berikut ini:
Apa itu Homeschooling
* Perbandingan school, homeschool, dan flexi-school
* Kurikulum Homeschooling
 

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.