Tidak sedikit orang tua bahkan guru di sekolah, baik
langsung maupun tidak langsung, sadar atau tidak sadar, telah memposisikan anak
seperti malaikat yang tidak berdosa dan tidak memiliki hawa nafsu.
Di
sekolah, sudah biasa anak laki-laki dan perempuan berada dalam satu kelas,
bahkan ada yang dengan sengaja diatur satu bangku. Keadaan ini diperparah oleh
cara berdandan siswa yang menampilkan sebagian auratnya, apalagi didukung oleh
paras yang cantik dan cakep alias ganteng. Inilah fakta yang banyak terjadi di
banyak sekolah, baik sekolah yang berlabel Islam terlebih lagi sekolah umum,
mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
ANTARA
KELAS CAMPUR DENGAN PRESTASI BELAJAR
Penelitian
terbaru menunjukkan, lebih dari 700.000 pelajar perempuan di Inggris yang
belajar di sekolah khusus perempuan lebih cerdas dibandingkan pelajar di
sekolah campuran (pria dan wanita).
Penelitian
yang dilakukan atas nama The Good School Guide didapati, sebagian besar dari
71.286 perempuan yang mengikuti program sekolah menengah (The General
Certificate Secondary Education [GCSE]) di sekolah sesama perempuan antara
tahun 2005 dan 2007 lebih baik hasilnya. Sementara itu, lebih dari 647.942
perempuan yang ikut ujian di sekolah campuran (pria/wanita) 20% lebih buruk
daripada yang diharapkan.
Anak
laki-laki dengan tingkat kecerdasan (IQ) yang sama lebih meningkat prestasi
belajarnya di dalam kelas sejenis (laki-laki saja) daripada mereka berada dalam
kelas campur laki-laki dan perempuan.
FAKTA
MENYEDIHKAN
Seorang
siswa di sebuah SMA sambil berkelakar kepada temannya berkata, “Saya sangat
senang sekolah di sini, karena cewek-ceweknya cantik, apalagi yang satu kelas
denganku. Uhuii….“
Pembaca
yang budiman! Apa yang terbayang oleh kita ketika mendengar ucapan itu? Apakah
kita merasa “nyaman” atau “risih” mendengarnya? Sungguh ini adalah ucapan yang
memberi isyarat nyata bahwa dengan sering terjadinya pertemuan antara siswi dan
siswa dalam sebuah kelas atau sekolah, hal itu akan menimbulkan perasaan
“mengkhayalkan” satu sama lain.
Lain lagi
dengan anak kelas 3 SD yang saya dengar sendiri dialog di antara mereka. Salah
seorang di antaranya bertanya kepada temannya dengan lugu, “Kamu sudah punya
pacar berapa?” Temannya menjawab, “Aku punya pacar 3.” Sang anak
yang bertanya langsung menyambut dengan jawaban yang membuat saya
terheran-heran. Dia berkata, “Aku punya pacar 4, tapi sudah putus 3,
sekarang tinggal 1, yaitu si “fulanah” (nama temannya disebut).“
Apa pula
pendapat kita dengan dialog kedua anak tersebut? Mungkin akan banyak ragam
komentar seperti, “Ah itu wajar, namanya juga anak-anak. Paling-paling dia
hanya mengikuti ucapan orang yang didengarnya atau hasil dari tontonan yang ada
di sinetron atau yang semisalnya.”
“Masya
Alloh..! Anak-anak sekarang edan!“
“Astaghfirulloh!
Anak-anak sekarang masih ingusan sudah pintar pacaran!“
Apapun
komentar kita tentang fenomena ini tidak akan pernah mengubah kenyataan yang
terus akan terjadi. Dengan dibiasakannya anak-anak berkelas campur, hal itu
pasti akan berisiko tinggi terhadap kerusakan akhlak, dan hal ini sama dengan
membuka pintu perzinaan.
DAMPAK
NEGATIF KELAS CAMPUR
Anak usia
8 tahun, apalagi 15 tahun, rata-rata sudah mulai matang mengkhayalkan lawan
jenisnya. Sambil bermain mereka saling menceritakan lawan jenisnya
masing-masing. Mereka menceritakan kelebihan-kelebihan lawan jenisnya, mulai
dari kecantikan, kegantengan, postur tubuh, prestasinya dan segala hal yang
membuat mereka tertarik kepada lawan jenisnya. Hal ini terjadi baik di
pesantren, apalagi di sekolah umum. Lebih-lebih di usia 21 tahun, anak akan
lebih matang dalam mengkhayalkan lawan jenisnya. Usia 8-21 tahun inilah yang
dikategorikan sebagai usia remaja.
Pada usia
remaja ini seorang anak sudah mulai secara transparan mengungkapkan isi hatinya
kepada lawan jenisnya, baik dengan menitip salam lewat temannya, SMS, surat,
email, facebook, twitter dan cara-cara lain yang terkadang di luar dugaan orang
tuanya, apalagi dengan kecanggihan teknologi saat ini. Sang anak mulai terpecah
konsentrasi belajarnya, bahkan waktunya habis untuk berkomunikasi dengan lawan
jenis yang disukainya. Maka jangan heran bila sang anak mulai suka terlambat
sekolah, setelah di sekolah pun terkadang lemas dan tidak bergairah lagi
mengikuti pelajaran karena dihadang oleh rasa kantuk akibat semalam sedikit
tidur dan berpikir tentang lawan jenis yang disukainya.
Akibat
negatif dari keadaan ini ialah, siswa mulai ketinggalan pemahamannya terhadap
materi pelajaran sehingga mulailah ia mengalami kesulitan belajar. Ketika anak
merasa kesulitan belajar inilah awal dari “malapetaka” anak sehingga ia tidak
bergairah lagi mengikuti pendidikan di sekolah karena beban pelajaran yang semakin
menumpuk, ditambah lagi waktunya yang habis untuk berkomunikasi dengan lawan
jenis yang disukainya.
Orang tua
pun mulai merasa heran, bahkan tidak terkecuali guru di sekolah mulai
bertanya-tanya tentang anak tersebut, kenapa siswa ini yang tadinya rajin dan
bersemangat sekolah, sekarang jadi bermalas-malasan bahkan prestasinya sangat
menurun? Ketika anak yang bersangkutan ditanya, “Kenapa kamu seperti ini?”
Dia menjawab, “Tidak ada apa-apa, Pak. Biasa-biasa saja!” Jawaban yang
sungguh menyimpan misteri.
Orang tua
dan guru di sekolah seolah kehabisan cara untuk mengungkap itu semua, sementara
anak merasa malu untuk berkata jujur terhadap apa yang dirasakannya. Lebih baik
menyembunyikan perasaannya dan sedikit berdusta, itu lebih dirasakan nyaman
bagi dirinya.
INI
SOLUSINYA!
Banyak hal
yang tidak bisa tertangkap dengan jelas atas kejadian-kejadian yang menimpa
anak-anak kita dalam masalah ini. Akan tetapi, sesungguhnya bukanlah itu akar
permasalahannya. Akar permasalahannya ialah, kita jarang melakukan tindakan
preventif terhadap kejadian-kejadian tersebut.
Ada
pelanggaran syariat yang terabaikan di sini, yaitu pergaulan campur baur
(ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan yang menurut sangkaan orang tua dan
masyarakat hal itu merupakan perkara yang wajar dan biasa, bahkan dilegalkan di
sekolah-sekolah.
Marilah
kita perhatikan sabda Rosulullah shollallohu ‘alaihi wasallam: “Suruhlah
anak-anak kalian sholat pada usia 7 tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau
melaksanakannya pada usia 10 tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”
(HR. Ahmad dan yang lainnya, dalam Shohiihul Jaami’ no. 5868)
Sungguh
ini adalah adab dan akhlak yang sangat mulia yang disampaikan oleh Nabi
shollallohu ‘alaihi wasallam. Dengan saudara kandung saja harus dipisah tempat
tidurnya pada usia 10 tahun, apalagi yang bukan mahromnya. Bagaimana kalau hal
ini diterapkan di sekolah? Tentu ini adalah keputusan yang tepat dan berani
dalam menjaga kehormatan anak-anak dan keluarga kita.
Kalau
anak-anak sudah mengenal batasan-batasan pergaulan antara lawan jenis yang
sudah mulai tertanam sejak dini di sekolah dengan kelas terpisah antara
laki-laki dan perempuan, maka insya Alloh nilai yang mulia ini akan tertanam
kuat dan menjadi karakter dan kepribadian yang baik. Sebaliknya, kalau
anak-anak sudah sejak dini sudah dibiasakan dalam kelas campur baur antara
laki-laki dan perempuan, apalagi hingga perguruan tinggi, maka hal ini akan
menjadi kebiasaan, yang kemudian menjadi karakter yang kuat bagi anak bahwa
bergaul tanpa batas adalah sesuatu yang biasa.
Metronews.com, kamis, 10 Juni 2010 memberitakan
bahwa penumpang Busway mulai dipisah antara penumpang laki-laki dan penumpang
perempuan, sehubungan dengan adanya pelecehan seksual di dalam kendaraan umum
yang bernuansa mewah tersebut.
Upaya
pemerintah untuk mencegah aksi pelecehan seksual di Bus Transjakarta (Busway)
mulai terlihat di koridor VI Halte Busway Ragunan, misalnya dengan adanya
pemisahan antara antrian penumpang laki-laki dan perempuan. Gianta Pradipta,
salah seorang penumpang Bus Transjakarta yang mengantri di Halte Ragunan,
mengaku bahwa adanya pemisahan berdasarkan jenis kelamin membuatnya lebih
nyaman, walaupun selama ini tidak pernah mengalami atau melihat pelecehan
seksual di Halte maupun di dalam Bus Transjakarta.
Hal ini
sesungguhnya merupakan pelajaran berharga bagi lembaga pendidikan untuk tidak
ragu-ragu lagi mengambil keputusan bahwa yang terbaik bagi fitrah manusia, baik
laki-laki maupun perempuan, adalah memisahkan kelas antara laki-laki dan
perempuan. Kalau Busway Jakarta dapat mengambil keputusan berani yang baik
tersebut, mengapa sekolah tidak?
MAKIN
DIPISAH MAKIN CERDAS
Para siswa
dengan kelas yang terpisah antara laki-laki dan perempuan akan lebih meningkat
kecerdasannya daripada kelas yang campur.
Siswa
sekolah sejenis kelamin (laki-laki saja atau perempuan saja) lebih meningkat
kecerdasannya daripada sekolah yang bercampur lokasinya antara laki-laki dan
perempuan walaupun kelasnya terpisah.
Para
santri di sebuah pesantren yang lokasi asrama laki-laki terpisah dengan asrama
perempuan dalam radius 1 km lebih meningkat prestasi kecerdasan santrinya
daripada pesantren yang berdekatan lokasinya (hanya dibatasi pagar/tembok
walaupun tinggi, atau dalam satu kompleks).
KESIMPULAN
Kalau
begitu, pembaca yang budiman, hal apakah yang menjadikan kecerdasan itu
meningkat? Jawabannya adalah semakin kita menjaga batas-batas Alloh dalam adab
dan akhlak antara pria dan wanita, maka akan menjadikan hati bercahaya, pikiran
bersinar dan belajar pun menjadi sungguh-sungguh. Dengan begitu, cahaya ilmu
akan mudah tertanam dalam pikiran dan hati kita. Resistensi tingginya pertemuan
antara pelajar wanita dengan pelajar pria akan lebih besar madhorotnya (dampak
negatifnya) daripada manfaatnya bagi kualitas belajar mereka.
Sumber:
Majalah Almawaddah vol. 39 Robi’uts Tsani 1432 H Maret-April 2011
Penulis: Abdurrahim Al Basyir M.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar