Alhamdulillahiwahdah wash shalatu
wassalamu ‘ala rasulillah.
Pada suatu hari penulis diajak teman
sesama da’i berkunjung ke rumah salah satu ikhwan.
Setelah menempuh jarak perjalanan sekitar dua jam naik sepeda motor berboncengan, dengan tubuh yang lumayan pegal-pegal sampai juga kami di tujuan.
Setelah menempuh jarak perjalanan sekitar dua jam naik sepeda motor berboncengan, dengan tubuh yang lumayan pegal-pegal sampai juga kami di tujuan.
Dari jalan raya kami masuk ke sebuah
gang sempit yang hanya cukup dilalui sepeda motor. Terlihat sebuah becak lawas
terparkir di halaman. Dengan bertembokkan anyaman bambu dan berlantaikan tanah,
di atas tanah sewaan, rumah ukuran kira-kira 3×6 meter itu berdiri. Persis di
belakang rumah tersebut mengalir sebuah sungai, yang jika hujan, airnya akan
meluap. Sehingga rumah tadi menjadi langganan tempat mampir kepiting hingga
ular berbisa.
Begitu kami masuk, langsung disambut
dengan pelukan hangat persaudaraan. Sejurus tuan rumah bergegas menyiapkan
minuman Nutrisari dan menumpahkan biskuit di atas piring, yang nampaknya baru
saja ia beli. Kami berusaha menahan beliau agar tidak perlu repot-repot, namun
beliau tetap bersikeras untuk menghormati tamunya. Sambil menunggu suguhan,
kami tercenung melihat isi rumah yang amat bersahaja itu. Dipan bambu dan
lemari yang kayunya telah mengelupas di sana-sini. Kursi plastik, piala juara
satu lomba bidang studi milik putra ikhwan tadi dan berbagai aksesori sederhana
menghiasi rumah mungil itu. Hampir saja air mata menitik terenyuh, tapi
bergegas penulis tahan, khawatir menimbulkan prasangka yang tidak-tidak.
Kemudian kami terlibat perbincangan
hangat selama beberapa saat. Di tengah-tengah obrolan terlihat dua anak
laki-laki berseragam SMP memasuki pintu belakang rumah. Ternyata mereka berdua
adalah putra dari ikhwan tadi. Setelah bersalaman dengan kami, obrolan beralih
tentang pendidikan kedua anak tadi.
Sesudah menjelaskan prestasi kedua
putranya, di mana sang kakak menyabet rangking satu dan si adik meraih rangking
kedua di sekolahannya, diiringi pandangan yang menerawang, ikhwan tadi
bercerita. Sebenarnya putra-putranya ingin masuk ke pesantren. Namun, kendala
biaya menghalangi impian indah tersebut. Bagaimana mungkin dengan mata
pencaharian tukang becak, yang hasilnya bisa untuk makan saja sudah mending, ia
bisa membayar uang pangkal masuk pesantren sebesar lebih dari lima juta rupiah!
Belum lagi SPP bulanan yang menembus angka setengah jutaan.
Sebenarnya, rekan da’i yang
mengantar saya berkunjung ke rumah ikhwan tersebut telah berusaha melobi
kesana kemari agar pondok-pondok yang ia kenal bisa berkenan memberikan
keringanan. Namun belum menghasilkan harapan yang diinginkan.
Sekelumit kisah tragis, yang saya
yakin masih banyak puluhan kisah serupa, yang menyisakan sebuah pertanyaan
besar:
Apakah
pendidikan hanya milik orang kaya?
Manakala kita buka lembaran
perjalanan pondok-pondok salaf
beberapa belas tahun lalu, kita akan temukan bahwa biaya pendidikan di dalamnya
masih relatif terjangkau oleh kocek para ikhwan, yang memang kebanyakan
berkantong tipis. Barangkali karena lembaga tersebut saat itu masih minim
fasilitas dan belum memiliki harga jual yang menjanjikan.
Namun dengan berjalannya waktu,
tuntutan peningkatan kualitas pendidikan semakin mendesak para punggawa pondok
tadi, untuk mau tidak mau menaikkan biaya pendidikan. Mulai dari uang pangkal
hingga SPP bulanan.
Memang sih, belum seberapa
jika dibandingkan dengan berbagai sekolah favorit orang-orang the have
yang uang pendaftarannya puluhan juta, sampai ngalah-ngalahin biaya
pendidikan S1. Tapi menurut hemat kami, jika biaya pendaftaran hingga menembus
lebih dari angka lima jutaan, tampaknya terlalu berat untuk kebanyakan wali
murid. Apalagi yang mata pencahariannya ‘hanya’ buruh bangunan, petani
kecil-kecilan, penjual gorengan, tukang becak atau yang semisal. Padahal banyak
di antara putra-putri orang-orang ‘kecil’ tadi yang keenceran otaknya tidak
kalah dengan mereka yang berumah gedong dan bermobil mewah.
Banyak
masalah terselesaikan dengan uang!
Barangkali inilah argumen terkuat
yang akan disodorkan manakala kritikan di atas dilontarkan. Betul memang,
finansial mutlak dibutuhkan untuk memutar roda kehidupan suatu lembaga
pendidikan. Bagaimana tidak, sedangkan pondok harus terus membangun asrama dan
kelas, menyediakan fasilitas kesehatan, menggaji para guru dan karyawan, serta
seabreg kebutuhan primer lainnya.
Namun, apakah itu semua atau
mayoritasnya harus dibebankan kepada orang tua santri? Tidakkah ada solusi lain
yang mungkin ditempuh?
BEBERAPA
ALTERNATIF PEMECAHAN
Mungkin berbagai ide di bawah ini
bisa dijadikan alternatif untuk menemukan jalan tengah yang dianggap ideal bagi
pondok dan wali santri. Seandainya pun sudah diterapkan, barangkali masih perlu
untuk dimaksimalkan.
1. Memberdayakan unit usaha pondok
Jumlah santri yang puluhan, ratusan,
atau bahkan ribuan, sejatinya merupakan potensi finansial yang sangat besar
jika pemberdayaannya tepat, jitu dan jeli. Masing-masing santri pasti memiliki
kebutuhan keseharian. Makanan, minuman, sabun, odol, pakaian, bacaan dan
pernik-pernik lainnya.
Konsepnya sederhana saja; bagaimana
agar uang santri tetap berputar di dalam pondok.
Sebuah pondok besar di Jawa Timur,
sebut saja Pondok A, yang telah berumur lebih dari delapan puluh tahun,
memiliki santri puluhan ribu dan seabreg ‘prestasi’, hingga saat ini masih bisa
bertahan untuk tidak terlalu melambungkan uang pangkal dan SPP bulanannya.
Padahal jika mau, bisa saja mengikuti tren sekolah mahal, apalagi pondok
tersebut memang sudah memiliki nilai jual yang tinggi. Apalagi memang harga
barang-barang kebutuhan pokok semakin hari semakin naik. Ditambah kebutuhan
rumah tangga para guru yang juga tidak ada habisnya. Namun demikian Pondok A
tetap menahan diri untuk tidak menaikkan biaya pendidikannya secara mencolok.
Rahasianya?
Salah satu kunci keberhasilan mereka
dalam menahan lonjakan beban biaya pendidikan santri adalah: kekuatan penghasilan
berbagai unit usaha pondok yang terus menyuplai dana.
Tidak tanggung-tanggung, lebih
dari dua puluh unit usaha menyokong kehidupan pondok A! Mulai dari
penggilingan padi, percetakan buku, toko besi, toko buku, sentral fotokopi,
apotik, wartel, toko kelontong, pabrik es, pabrik roti, pabrik air minum,
budidaya dan penyembelihan ayam potong, pasar sayur, jasa angkutan, kerajinan
sandal, hingga warung bakso!
Beberapa tahun lalu saja, peghasilan
unit-unit usaha tersebut yang disetorkan ke pondok tidak kurang dari 6
miliar rupiah/tahun!1
Kekuatan swadana luar biasa, yang
sejatinya adalah pemberdayaan potensi santri dan simpatisan pondok secara
maksimal
Sudah
dicoba tapi sering gagal!
Di suatu kesempatan, saya pernah
berbincang lebih dekat dengan tokoh sentral Pondok A, karena kebetulan saya
pernah menjadi sekertaris beliau. Di antara pertanyaan yang sempat terlontar,
“Setiap ada peluang usaha terbuka, Pondok A selalu berusaha menambah unit
usahanya, apakah tidak pernah mengalami kegagalan?”.
Dengan senyum tersungging ia
menjawab, “Jelas, kami pernah gagal dan bahkan sering! Tetapi kami tidak pernah
merasa kapok atau jera. Justru itu kami jadikan sebagai lecutan untuk terus
maju”.
Saya jadi teringat motivasi yang
kerap disampaikan para pebisnis yang telah sukses, bahwa keberhasilan besar
mereka ‘pasti’ selalu diawali dengan kegagalan. Namun mereka menganggap
berbagai kegagalan tersebut sebagai kesuksesan yang tertunda. Sehingga mereka
selalu bangkit dan menjadikan kegagalan itu sebagai modal pengalaman yang tak
ternilai harganya.
Pernah berapa kali saya berdiskusi
dengan beberapa pengasuh pondok pesantren salaf mengenai urgensi kemandirian
ekonomi pondok. Rata-rata mengamini pentingnya hal itu. Tetapi untuk memulai
mewujudkan idealisme tersebut dalam tatanan praktek nyata masih banyak
pertimbangan ini dan itu. Salah satu faktor terbesarnya adalah trauma akan
kegagalan yang dulu pernah terjadi manakala berusaha merintis unit usaha.
Segala sesuatu yang memiliki
tantangan pasti beresiko. Namun dengan ikhtiar, niat yang tulus dan tawakal
kepada Allah insyaAllah gerbang cerah keberhasilan akan menanti di
depan!
Memberi
pancing bukan ikan
Suatu hal yang patut disyukuri,
semakin tumbuhnya kesadaran orang-orang yang dikaruniai Allah kelebihan harta
untuk menyisihkan sebagian hartanya guna membesarkan pesantren. Bahkan tidak
sedikit di antara mereka yang seakan tidak pernah menghitung sumbangan yang ia
gelontorkan. Banyak yang diwujudkan dalam bentuk bangunan masjid, asrama,
kelas, hingga tunjangan para santri yang kurang mampu. Semoga Allah berkenan
menjadikan itu semua sebagai amal jariah mereka, amien.
Namun, jika dicermati, rata-rata
bantuan tersebut akan habis dengan selesainya proyek yang dituju. Lalu
pesantren kembali menunggu uluran tangan berikutnya. Inilah yang kami umpamakan
dengan memberi ikan.
Barangkali perlu untuk mulai kita
pikirkan bagaimana memberi pesantren pancing untuk mengail ikan, bukan memberi
ikan yang siap santap. Tujuannya: menumbuhkan kemandirian pondok dan
mengurangi ketergantungan kepada bantuan para donatur.
Di antara kalimat yang sering
diucapkan Kyai Pondok A, “Manakala tidak ada bantuan datang, maka pondok kami
tetap jalan. Dan di saat ada bantuan, maka bukan hanya berjalan, namun kami
akan berlari kencang!”.
Para
ustadz sudah sibuk!
Siapa yang akan mengurus unit usaha
pondok? La wong memikirkan pendidikan santri saja para ustadz sudah
kewalahan, koq masih mau dibebani memikirkan warung bakso!
Tentunya, bukanlah para ustadz yang
ditugaskan untuk menggiling padi, membungkusi roti, atau mengurusi pembukuan
keuangan puluhan unit usaha pondok! Selain bukan bidang keahlian mereka, waktu
para ustadz juga sudah habis untuk pendidikan dan pengajaran santri.
Namun, kita perlu memberdayakan SDM
ikhwan-ikhwan para sarjana umum yang alhamdulillah tersebar di
mana-mana. Berusaha untuk saling mendukung dalam bidang yang ditekuninya.
Apalagi banyak dari mereka yang lebih memilih bekerja di tempat yang ‘aman’.
Akan tetapi perlu kehati-hatian,
kearifan dan kepiawaian berinteraksi dalam proyek pekerjaan bersama seperti
itu. Sebab sering terjadi kerenggangan yang berujung kepada karamnya kapal
kerjasama, akibat kekuranghati-hatian dalam bertutur atau bersikap, juga karena
kurang ‘mengorangkan’ manusia.
2. Menggiatkan program wakaf dan memberdayakannya
Wakaf merupakan salah satu aset umat
Islam yang luar biasa, mampu memecahkan banyak masalah, jika diberdayakan
dengan baik dan profesional.
Sebagian kalangan mengira bahwa
wakaf itu hanya berupa masjid dan yang serupa. Padahal sebenarnya pengertian
wakaf lebih luas dari itu. Bisa berupa wakaf kebun, sawah atau bahkan sumur
sekalipun. Sebab definisi wakaf itu sendiri adalah: menjaga aset dan
mengalirkan penghasilannya. Karena itu dahulu Utsman bin ‘Affân radhiyallahu’anhu
mewakafkan sumur Rûmah untuk kaum muslimin.
Di zaman ini pun, banyak lembaga
pendidikan yang tetap eksis berkat sokongan wakaf yang dimilikinya. Antara
lain: sebuah universitas di Kairo Mesir yang telah berusia ratusan tahun,
bahkan dinilai sebagai universitas Islam tertua di dunia. Walau lembaga
tersebut minim subsidi dari pemerintah, namun ia tetap eksis. Bahkan bisa
memberikan beasiswa -seadanya- kepada para mahasiswanya. Sebab ia memiliki kekuatan
raksasa penyokong, yakni wakaf!
Berbagai institusi pendidikan di
Indonesia pun banyak yang mengadopsi sistem kemandirian itu. Di antaranya:
Pondok A tersebut di atas. Dengan puluhan atau ratusan hektar sawah wakaf yang
dimilikinya, ia bisa mensubsidi kebutuhan beras para santri. Sehingga kebutuhan
makan santri tidak mutlak dibebankan kepada SPP mereka. Buahnya; nominal SPP
bisa lebih ditekan.
3. Memberdayakan energi santri
Dulu ketika masih duduk di bangku
Sekolah Dasar, seperti lazimnya siswa SD, saya pernah mengikuti perkemahan di
suatu lapangan besar yang diikuti oleh SD-SD satu kecamatan. Bisa dibayangkan
bagaimana ramainya tempat itu, ibarat berubah menjadi pasar malam. Namun
‘pahitnya’, setiap kerumunan orang banyak pasti meninggalkan sesuatu yang
bernama sampah, dengan berbagai bentuknya.
Menarik untuk dicermati, hanya
dengan waktu kurang dari setengah jam, lapangan yang mirip kapal pecah tadi,
bisa kembali bersih seperti semula, tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.
Ternyata panitia menggunakan siasat kaki seribu.
Para peserta dijejerkan bersaf-saf.
Lapisan pertama berjalan sambil merunduk dan memunguti sampah. Jika masih ada
yang tersisa, akan disikat oleh lapisan kedua. Hingga lapisan terakhir mungkin
cuma bisa menemukan puntung rokok, itupun setelah bersusah payah memelototi
rumput di hadapannya. Ya, tanpa menyewa tukang sapu, lapangan kembali hijau
nyaris tanpa ‘noda’.
Kumpulan orang banyak memang
memiliki energi besar, jika diberdayakan dengan baik dan sistematis.
Dengan memanfaatkan tenaga santri,
sebenarnya banyak pengeluaran pondok yang bisa diirit. Tukang sapu, tukang
kebun, satpam, penjaga dapur, penunggu kantin, sebenarnya bisa ditangani oleh
santri. Sehingga pondok memiliki puluhan ‘karyawan sukarela’.
Wah, waktu santri habis dong!
Kalimat “diberdayakan dengan
baik” perlu dicetak tebal di sini. Kita bukan akan membebani santri 24 jam
mengurusi tetek-bengek tersebut di atas. Jelas itu akan merubah tujuan utama
kedatangan mereka ke pesantren. Namun dengan pembagian jadwal yang baik dan
pemerataan tugas, paling-paling, satu santri hanya akan kebagian menyapu satu
jam dalam satu minggu, tidak lebih! (Namun jangan lupa, harus ada monitoring
dari pengurus. Supaya jadwal tersebut tidak berubah menjadi hiasan dinding
belaka, alias ndak jalan).
Adapun, pekerjaan yang lebih berat
dan membutuhkan pemikiran serta amanah tinggi, semisal menjaga koperasi, maka
bisa diserahkan kepada santri senior pilihan yang lazim ada di suatu lembaga
pendidikan. Di luar, biasa diistilahkan dengan OSIS.
Masa
santri jadi tukang kebun?!
Sekitar lima tahun lalu, tatkala
masih kuliah di Madinah, penulis sempat diamanahi menggemban posisi Mandub
mahasiswa Indonesia Universitas Islam Madinah. Kalau di Indonesia, mungkin
biasa diistilahkan dengan Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa).
Walaupun pekerjaan yang dibebankan
tidak banyak-banyak amat, namun tetap menuntut adanya kerjasama dengan
mahasiswa lain. Namanya berinteraksi dengan berbagai jenis manusia, selalu saja
ada suka dan duka. Sukanya, jika teman yang dimintai bantuan berkarakter ringan
tangan. Dukanya, jika rekan yang diajak cenderung jaim (jaga image)nya
terlalu besar, alias ogah-ogahan diajak berbuat untuk orang lain.
Ketika penulis lengser dan posisi
tersebut digantikan adik kelas, ternyata ia pun mengalami hal serupa dalam suka
dan duka. Saat penulis cermati, ternyata banyak di antara mereka yang enggan
diajak bekerja, dahulunya ketika di pondok konsentrasinya dalam belajar kurang
diimbangi dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sukarela.
Memberdayakan santri untuk
menjalankan ‘pekerjaan rumah tangga’ bukanlah suatu hal yang hina. Justru itu
akan mendidik mereka menurunkan gengsi dan memiliki fleksibilitas dalam
menghadapi tuntutan keadaan.
Seorang santri yang terjun ke dunia
nyata dakwah tertuntut untuk bisa melakukan transformasi diri. Ia harus bisa
beradaptasi terhadap tuntutan tugas dakwahnya. Di kehidupan nyata, kerap da’i
harus dihadapkan dengan kondisi yang menuntut ia menjadi ustadz, plus tukang
sapu, macul sawah, dan pekerjaan-pekerjaan lain, yang barangkali tidak
terbayangkan sama sekali saat dulu duduk di bangku pesantren. Dan itu merupakan
salah satu tantangan dakwah yang harus dihadapi bukan dihindari. Toh, dahulu
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam juga berbaur dengan para
sahabatnya dalam pekerjaan keseharian mereka dan tidak bersikap eksklusif.
Pemberdayaan seperti ini mengandung
pendidikan mental dan karakter yang sangat dibutuhkan saat terjun ke
masyarakat, dan ditengarai menjadi titik kelemahan banyak lembaga pendidikan
salaf yang cenderung unggul dalam bidang keilmuan.
4. Menghindarkan hal-hal yang kurang urgen
Kenyamanan situasi belajar mengajar
memang amat diperlukan untuk memperlancar proses transfer ilmu ke diri para
santri. Namun seharusnya tidak sampai berlebihan dalam memanjakan santri,
sehingga menghilangkan ruh pengorbanan dan kerja keras dalam menimba ilmu.
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah
menyampaikan petuahnya, “Ilmu itu tidak didapat dengan bersantai ria”.
Berikut penulis bawakan dua contoh:
a.
Penggunaan AC di kamar atau kelas santri
Tidak bisa dipungkiri, bahwa secara
umum di negeri kita, AC masih dianggap sebagai barang mahal dan simbol
kemewahan. Karenanya, menurut hemat kami, pemasangan AC di seluruh kamar dan
kelas santri, bukan sekedar di ruang laboratorium komputer saja, merupakan
perilaku berlebih dalam dunia pesantren. Walaupun barangkali ada donatur yang
siap untuk menyediakan secara cuma-cuma seluruh unit AC yang dibutuhkan. Namun,
tentu tagihan listrik dan biaya perawatan akan membengkak. Ujung-ujungnya
santri pula yang akan terbebani pembiayaan tersebut.
Pemakaian AC secara full juga
berdampak membiasakan santri untuk berlaku manja serta hidup selalu serba enak.
Dan hampir bisa dipastikan akan berpengaruh kepada militansi dakwah mereka,
manakala terjun ke dunia nyata perjuangan, yang rata-rata amat jauh dari
sesuatu yang beraroma kemewahan. Lagi pula sudah menjadi rahasia umum bahwa
peralatan pendingin seperti ini menimbulkan dampak kurang baik bagi kesehatan
tubuh.
Ini
kota panas bung!
Memang betul, suhu satu kota dengan
yang lainnya di bumi pertiwi amat berbeda. Ada yang cenderung dingin dan ada
pula yang panasnya menyengat. Namun sepanas-panasnya cuaca kota di Indonesia,
sepengetahuan kami tidak sepanas negara gurun pasir di mana AC sudah menjadi
kebutuhan primer.
Panasnya suasana pondok mungkin bisa
disiasati dengan pengaturan yang baik sirkulasi udara dan ventilasi bangunan
pondok. Juga dengan memperbanyak pepohonan yang rimbun di komplek pondok,
sehingga terciptalah ASÊ (angin sêgar) alami yang sehat dan gratis.
b.
Mewah dalam makanan keseharian santri
Asupan gizi yang mencukupi memang
mutlak dibutuhkan agar tubuh dan otak santri bisa fit untuk menyerap pelajaran
di kelas. Namun gizi tinggi tidak selalu berkonotasi lauk-pauk yang mahal dan
setiap hari piring santri selalu berhiaskan sesuatu yang bernama daging.
Protein bisa dipadukan antara yang berbahan dasar nabati maupun hewani.
Selain melatih kesederhanaan hidup
santri, hal di atas juga akan bisa menekan biaya bulanan makan santri, sehingga
bisa dijangkau oleh semakin banyak orang tua yang menginginkan anaknya belajar
di pesantren.
5. Subsidi silang
Tingkat ekonomi para orang tua
santri tentu amat beragam. Ada yang pas-pasan, ada yang berlebih dan ada pula
yang cenderung kekurangan.
Saling tolong-menolong dalam
kebaikan merupakan ibadah yang amat mulia dalam Islam. Allah ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
Artinya: “Saling tolong
menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan”. (QS. Al-Maidah: 2)
Di antara potret indah saling
membantu: subsidi silang dalam dunia pesantren. Kelebihan yang dimiliki wali
santri kaya dialirkan untuk membantu santri yang kekurangan. Entah itu dalam
kemasan beasiswa bagi santri yang berprestasi atau dalam bentuk lainnya.
Merupakan suatu hal yang
menggembirakan bahwa tidak sedikit pondok-pondok yang telah menerapkan konsep
di atas. Hanya saja barangkali kuantitasnya masih perlu untuk ditingkatkan.
Hal lain yang perlu diperhatikan
dalam menjalankan subsidi silang ini adalah urgensi transparasi dalam
penyaluran dana tersebut. Seyogyanya seluruh wali santri, apalagi yang
bersangkutan, bisa mengetahui aliran pendanaan tersebut. Semua harus jelas,
rapi, terang dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Laporannya pun ada dan siap
saji setiap saat, bukan hanya berdasarkan “kira-kira”. Ini mutlak diperlukan,
untuk menanamkan kepercayaan dan menghilangkan prasangka buruk
6. Menggeliatkan gerakan orang tua asuh
Banyak anak cerdas yang sebenarnya
ingin sekali masuk ke pesantren, namun karena keterbatasan ekonomi orang
tuanya, mereka terhalang untuk meraih impian indah tersebut.
Dalam kondisi seperti inilah empati
orang-orang yang dikaruniai kelebihan harta seharusnya ditumbuhsuburkan.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
menasehatkan,
ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ؛ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ
بِضُعَفَائِكُمْ
“Bantulah aku untuk mencari dan
menolong orang-orang lemah; sesungguhnya kalian dikaruniai rizki dan meraih kemenangan
lantaran adanya orang-orang miskin di antara kalian”. (HR. Abu Dawud, dan sanadnya dinilai jayyid
(baik) oleh an-Nawawy)
Gandenglah tangan anak-anak malang
itu dan sisihkan sebagian rizki Anda untuk mencetak kader da’i dan ulama. Anda
tidak tahu, bisa jadi, anak-anak yang Anda biayai itulah yang akan membantu
perjalanan Anda kelak di akhirat, manakala kaki Anda terseok-seok keberatan
dosa.
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا
مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ
وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia mati, maka seluruh
amalannya akan terputus kecuali tiga. Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan
anak salih yang mendoakannya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Andaikan menjadi lantaran hidayah
seorang manusia saja sudah dianggap sebagai amal salih yang amat utama.
Bagaimana jika Anda menjadi lantaran hidayah penduduk satu kampung atau satu
kota, melalui perantara putra daerah yang Anda sekolahkan ke pesantren??
Dana yang Anda keluarkan untuk
membangun masjid adalah amal yang amat mulia, namun jangan lupa, betapa banyak
masjid yang ‘mati’ lantaran tidak ada orang yang menghidupkan shalat berjamaah
dan menyemarakkan pengajian di dalamnya. Pembangunan fisik perlu diiringi
dengan pencetakan Sumber Daya Manusia yang mumpuni.
Sekedar contoh, kiprah salah satu
pengusaha papan atas Indonesia. Dia membuat sekolah unggulan gratis bagi warga
miskin berprestasi. Saat ini 400 siswa dia tampung di SMA unggulan tersebut,
segalanya bebas biaya, bahkan plus biaya akomodasi dan uang saku! Biaya
operasional yang dikeluarkan per bulannya Rp. 500 juta hingga 1 miliar. Semua
berasal dari keuntungan berbagai perusahaan yang dimilikinya.2
Andaikan setiap pengusaha memiliki
spirit kepedulian serupa. Masing-masing sesuai dengan potensi yang ia punyai.
Mungkin tidak lagi tersisa anak miskin di bumi pertiwi ini, yang meneteskan air
matanya, karena melihat teman-temannya tertawa riang berlari berangkat ke
sekolah, sedangkan dia sendiri harus membantu orang tuanya mencari sesuap nasi…
7. Menyuburkan ruh pengorbanan dalam jiwa tenaga pengajar
Sejak dulu dunia lembaga pendidikan
Islam tanah air tidak pernah lekang menggoreskan potret keikhlasan, pengorbanan
dan kesederhanaan para punggawanya yang luar biasa.
Ada kiai yang berkata, “Kasur yang
kutiduri tidak akan melebihi empuknya kasur yang ditiduri santriku. Makanan
yang kusantap tidak akan lebih enak dibanding makanan santriku!”.
Ada pula yang dikisahkan, hingga
wafatnya belum memiliki rumah pribadi. Padahal santrinya sudah puluhan ribu,
tanah pondoknya telah puluhan hektar dan cabangnya sudah tersebar di seantero
penjuru nusantara.
Keberhasilan suatu pondok, tidak
bisa dilepaskan dari taufik Allah ta’ala, yang itu akan diturunkan-Nya,
antara lain, manakala pengasuh pondok dan para tenaga pembantunya ikhlas dalam
menjalankan amanah yang diemban.
Pondok mereka jadikan sebagai ladang
untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal menghadap Allah ta’ala
kelak. Yang selalu tertanam dalam benak mereka adalah: “Apa yang bisa
saya persembahkan untuk pondok? Bukan keuntungan duniawi apa yang bisa saya
raup dari pondok?”.
Konsep keikhlasan dalam Islam bukan
berarti ustadz diterlantarkan mengajar tanpa ada gaji yang memadai.
Bagaimanapun juga mereka juga memiliki kewajiban untuk memberi nafkah kepada
keluarganya.
Namun demikian, sekurang-kurangnya
ada dua poin yang perlu diperhatikan di sini:
Pertama: Apa tujuan utama mengajar di pondok? Untuk meraup keuntungan
duniawikah? Atau untuk mengejar pahala ukhrawi? Sedangkan gaji yang didapatkan
itu dianggap sebagai karunia kemurahan Allah, yang tidak akan mungkin
menyia-nyiakan para hamba-Nya yang berjuang membela agama-Nya.
Pondok dianggap sebagai lahan basah
bisniskah, atau sebagai ladang perjuangan?
Pondok diposisikan sebagai imperium
keluarga yang kelak dibagi-bagikan kepada ahli warisnya kah? atau dijadikan
wakaf kaum muslimin?
Kedua: Pola pikir orang yang beriman, apalagi berilmu, tentu
berbeda dengan insan yang minim ilmu agama. Mereka bisa memilah dan memilih
mana kebutuhan primer, mana pula kebutuhan sekunder. Harta duniawi yang mereka
miliki, hanya dijadikan sebagai tunggangan untuk mengantarkan ke kehidupan
abadi kelak.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ
اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Beruntunglah orang yang berislam,
dikaruniai rizki yang cukup dan dijadikan menerima apa pun yang dikaruniakan
Allah”. HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma.
Tidak lupa beliau juga menggariskan
ukuran kecukupan dalam sabdanya,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي
جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ؛ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barang siapa yang melewati harinya
dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya dan memiliki makanan untuk
hari itu; seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya”. HR. Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Syaikh
al-Albani.
Tidak selayaknya para ustadz
terjangkiti budaya hedonisme. Gemar gonta-ganti kendaraan, laptop atau hp,
tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Namun semata mengikuti tren yang berkembang
di masyarakat. Selain hal itu akan menggelembungkan pengeluaran mereka, juga
akan menimbulkan imej negatif di mata para mad’u. sehingga sedikit
banyak akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam berdakwah
Catatan
penting
Kata keikhlasan harus selalu
dihembuskan ke telinga seluruh jajaran anggota pesantren, mulai dari ‘top
manager’ hingga ‘akar rumput’, dan disuntikkan ke hati mereka. Namun hendaknya
kata mulia ini tidak digunakan sebagai tameng oleh ‘top manager’ untuk menutupi
kekurangannya. Manakala mereka tidak mampu memenuhi kesejahteraan para ustadz,
dikarenakan belum berusaha maksimal untuk itu.
Yang benar, berusahalah secara
maksimal untuk mewujudkan hal itu. Jika belum juga bisa memenuhi target, maka
ruh pengorbanan dan jiwa keikhlasan perlu untuk ditingkatkan oleh seluruh
jajaran anggota pesantren. Supaya roda kehidupan pesantren bisa tetap
menggelinding dengan baik.
BISIKAN
DI TELINGA PARA WALI SANTRI
Jika pembicaraan di atas lebih
banyak tertuju kepada para pengasuh pondok dan segenap jajaran pembantunya,
maka bukan berarti para wali tidak perlu untuk diberi arahan.
Ketahuilah wahai para orang tua,
ustadz-ustadz di pondok telah menguras tenaga dan pikiran, serta mengorbankan
waktu mereka demi pendidikan putra-putri Anda. Dan perlu diketahui bahwa proses
pengajaran anak bukanlah semata pekerjaan satu pihak. Namun harus ada sinergi
antara pihak rumah dan pihak sekolah.
Minimal, Anda memperhatikan
kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak sekolah / pesantren. Hak anak Anda
berupa pendidikan dan pengajaran agama telah ia dapatkan, maka jangan lupa
penuhi pula hak pondok berupa iuran bulanan. Jadikanlah itu sebagai prioritas
utama dalam kehidupan rumah tangga Anda.
Sekedar ilustrasi untuk
menggambarkan bahwa sebagian orang tua masih perlu meluruskan skala prioritas
pengeluaran mereka, kejadian nyata beberapa saat lalu. Dikisahkan bahwa
pengasuh Pondok B di Jawa Timur yang telah terkenal biaya pendidikannya paling
murah, suatu hari kedatangan wali santri yang memohon dengan sangat agar uang
pangkal sebesar 1,5 juta didiskon atau minimal diundur pembayarannya. Tatkala
ditanya tentang alasan, katanya ia baru saja mengeluarkan biaya sekitar 70 juta
untuk memasukkan salah satu anaknya ke Fakultas Kedokteran (!!!).
Subhanallah… Sudah sedemikiankah cara pandang sebagian wali santri dalam
memilah dan memilih mana pengeluaran yang harus didahulukan?? Bukannya tidak
boleh belajar di jurusan umum. Tapi manakah yang harus diprioritaskan? Hadits
nabawi berikut mungkin bisa dijadikan sebagai bahan renungan untuk mengoreksi
ulang pola berpikir kita.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالىَ يُبْغِضُ كُلَّ عَالِمٍ بِالدُّنْيَا
جَاهِلٍ بِالْآخِرَةِ
“Sesungguhnya Allah ta’ala
membenci orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam perkara
akherat”. (HR. Al-Hakim dalam Tarikhnya dari Abu Hurairah dan
dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albany).
Amat disayangkan banyak pesantren
yang setiap bulannya, iuran santri menunggak sampai lebih dari 50 %! Para
pengasuh pesantren sering dipaksa ‘sport jantung’ memikirkan santri
makan apa besok?
Tidak sedikit pula, para wali santri
yang menitipkan anaknya di pondok selama bertahun-tahun. Setelah tamat dan
merasakan manisnya hasil pendidikan pesantren, dia lupa atau pura-pura lupa,
bahwa dia masih memiliki tanggungan SPP yang belum dia lunasi.
Sebagian mereka memandang ringan
tanggung jawab materi tersebut, dengan alasan tidak ada perjanjian tertulis
mengenai kewajiban menyelesaikan tanggungan itu.
Ketahuilah, bahwa dengan Anda
memasukkan putra Anda ke pesantren, berarti otomatis Anda telah terikat dengan
kewajiban keuangan itu. Andaikan tidak Anda bereskan, maka akan menjadi hutang
yang tidak akan pernah gugur sampai kapanpun jua. Selama belum Anda lunasi atau
dibebaskan oleh pihak pesantren.
Bersiaplah, pahala Anda dikurangi
untuk dilimpahkan kepada orang lain dan dosa mereka dicabut lalu ditimpakan
kepada beban dosa Anda!
EPILOG
Barangkali sebagian kalangan menilai
makalah ini terlalu idealis dan tidak sejalan dengan realita. Namun bukankah
mimpi indah di atas bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan?
Dengan limpahan karunia taufik dari
Allah ta’ala yang tidak berhenti mengalir, kemudian dukungan kerjasama
seluruh pihak, insyaAllah kita bisa mewujudkan cita-cita mulia “Membuat
lembaga pendidikan Islam berkualitas dengan biaya yang terjangkau”. Atau
dengan kata lain “Pesantren yang murah tapi tidak murahan”. Semoga…
Wa shallallahu’ala nabiyyina
muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbih ajma’in…
Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga, 4
R Tsani 1432 / 12 Maret 2011
Ust.Abdul Zen M.A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar