Tahukah Anda kisah batang pohon
kurma yang menangis?
Bukan, ini bukan kisah fiktif
atau sekedar dongeng pengantar tidur. Kisah ini benar-benar terjadi di zaman
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diceritakan oleh banyak sahabat sehingga
mencapai derajaat hadits mutawattir.
Dahulu, di awal masa hijrah,
masjid Nabawi belum memiliki mimbar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berkhotbah dengan bersandar pada sebatang pohon kurma. Sampai suatu saat,
mimbar nabi yang baru telah dibuat. Batang pohon kurma itu pun dipindahkan,
digantikan dengan mimbar yang baru.
Sampailah saat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di mimbar yang baru untuk berkhotbah.
Ternyata batang pohon kurma itu menjerit dan menangis seperti suara unta yang
rindu dan memanggil anaknya. Saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
langsung turun dari mimbar dan memeluknya sampai tenang sebagaimana bayi tenang
ketika dibuai.
Ketika itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika aku tidak memeluknya, ia akan
terus menangis hingga hari kiamat.” *
Ternyata salah satu sebab batang
pohon kurma itu menangis karena kerinduan yang mendalam mendengar
nasihat-nasihat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saya merasa, sisi menakjubkan
dari kisah ini bukan sekedar tangisan si pohon kurma. Bagaimana sebatang pohon
kurma bisa rindu teramat sangat mendengar nasihat dan dzikir yang bisa
disampaikan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sekedar itu.
Sisi menakjubkan lain yang saya
rasakan dari kisah ini adalah bagaimana nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam meninggalkan aktifitas yang sedang/akan dilakukan untuk menghampiri
sebatang pohon kurma. Untuk memeluknya.
Untuk menenangkannya.
Lalu…Apakah kita juga seperti itu
ketika anak kita menangis?
Sayangnya, terkadang yang terjadi
adalah sebaliknya.
Ada yang segera menghardik.
Memerintahkan si anak untuk segera diam.
Tidak bertanya atau bahkan tidak
peduli, karena sebab apa si anak
menangis.
Ada pula yang lupa memberi
kata-kata penghibur yang menenangkan, apalagi pelukan yang menghangatkan.
Tapi justru memberikan kata-kata yang
menjatuhkan, “Cengeng…”
Mari kita tarik nafas sejenak.
Ah…begitulah.
Menjadi orang tua, memang tidak
ada sekolahnya. Tidak pula ada latihannya…Tidak ada gladi bersihnya.
Maka kalau kita melakukan
kesalahan dalam sikap, itu masih bisa dianggap wajar. Kehidupan yang kita
jalani itulah masa-masa kita berlatih untuk menjadi orang tua yang lebih baik
lagi…dan lebih baik lagi.
Tangisan anak memang tidak harus
melulu dihadapi dengan pelukan. Tulisan ini hanya pengantar untuk kita para
orang tua untuk merenung dan mengoreksi sikap yang perlu dikoreksi ketika
berhadapan dengan anak saat ia menangis. Karena saya sama seperti Anda.
Sama-sama masih harus terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik :).
* HR. Ibnu Majah, dishahihkan
oleh Shaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, no. 1162
cizkahJogja, Rajab 1435 H/Mei
2014Artikel ummiummi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar