Dr. Hj Erma Pawitasari, M.Ed
Doktor Pendidikan Islam PKU DDII bekerjasama dengan BAZNAS
Pertanyaan malalui e-mail: redaksi@suara-islam.com
Assalamu’alaikum wr wb.
Bu, saya adalah guru dari sebuah Playgroup-TK di Cimanggis, Depok. Kami sering mendengar tentang larangan mengajarkan calistung. Namun,
para orang tua murid menuntut anak-anaknya bisa membaca. Sekolah yang tidak bisa membuat anak-anak membaca dijauhi. “Jangan sekolah di TK itu, muridnya tidak bisa baca.” Akibatnya, kami pun tetap mengajarkan calistung. Bagaimana menurut Ibu?. Terima kasih.
Doktor Pendidikan Islam PKU DDII bekerjasama dengan BAZNAS
Pertanyaan malalui e-mail: redaksi@suara-islam.com
Assalamu’alaikum wr wb.
Bu, saya adalah guru dari sebuah Playgroup-TK di Cimanggis, Depok. Kami sering mendengar tentang larangan mengajarkan calistung. Namun,
para orang tua murid menuntut anak-anaknya bisa membaca. Sekolah yang tidak bisa membuat anak-anak membaca dijauhi. “Jangan sekolah di TK itu, muridnya tidak bisa baca.” Akibatnya, kami pun tetap mengajarkan calistung. Bagaimana menurut Ibu?. Terima kasih.
Bu Irma, Depok.
Wa’alaykum salam wr wb.
Bu Irma yang disayang Allah,
Perkembangan pengajaran calistung disertai dengan tes-tes bagi anak-anak Playgroup dan TK sudah pada level mengkhawatirkan. Bila dulu, anak-anak cukup membeli buku persiapan UMPTN (masuk perguruan tinggi), diikuti dengan buku persiapan Ebtanas (setara Ujian Nasional), sekarang sudah banyak terbit buku-buku untuk persiapan tes masuk SD, seperti “Aku Siap Masuk SD” dan sejenisnya. Lebih jauh lagi, anak bayi pun sekarang sudah harus giat belajar menghadapi persaingan masuk TK sehingga banyak terbit buku-buku persiapan masuk TK, seperti “Sukses Masuk TK”, “99,99% Diterima Masuk TK Favorit”, dan “Lolos Tes Masuk TK.”
Bola liar calistung ini membuat Mendikbud, Dr. Muhammad Nuh, membuat pernyataan publik pada acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) di Depok, 11 Januari yang lalu. Beliau menegaskan bahwa mengajarkan calistung adalah kewajiban SD, bukan PAUD. Anak yang akan masuk sekolah tidak boleh dituntut sudah menguasai calistung [Situs resmi PAUD Kemdikbud RI].
Pernyataan Mendikbud ini sesuai dengan aturan hukum yang diatur dalam Permendiknas RI No. 58 TAHUN 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Ada 4 tingkat pencapaian terkait dengan kemampuan calistung bagi anak usia 4-6 tahun, yaitu:
1. Pura-pura membaca cerita bergambar dalam buku dengan kata-kata sendiri.
2. Berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, serta mengenal simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis dan berhitung.
3. Membaca nama sendiri.
4. Menuliskan nama sendiri.
Berdasarkan Permendiknas ini, kemampuan tertinggi yang diharapkan dari lulusan TK adalah membaca dan menulis namanya sendiri. Inipun cukup nama pendek, sekedar mengenali namanya dan memberi nama lembar kerjanya.
Untuk mendukung aturan ini, Dirjen Dasmen mengeluarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 Perihal : Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar. Ada 3 hal yang ditekankan dalam surat edaran ini, yaitu:
1. Pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung.
2. Pendidikan di TK tidak diperkenankan memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada anak didik dalam bentuk apapun.
3. Setiap sekolah dasar (SD) wajib menerima peserta didik tanpa melalui tes masuk.
Menurut aturan pemerintah, Sekolah PAUD yang mengajarkan materi calistung secara langsung dan SD yang mengadakan tes penerimaan murid justru telah melakukan pelanggaran. Hal ini harus disosialisasikan ke seluruh PAUD dan orang tua murid sehingga bersama-sama mematuhi aturan dan tidak memaksa anaknya menguasai calistung pada usia dini.
Mengapa pemerintah melarang pengajaran calistung secara langsung? Apa ruginya anak belajar calistung? Bukankah hal ini membantunya menguasai pelajaran SD? Bukankah makin terpakai otak, makin meningkat kecerdasannya?
Secara ringkas, pertanyaan-pertanyaan di atas telah dijawab oleh Direktur PAUD Kemdikbud, Sudjarwo Singowijoyo. Beliau mengatakan:
Memaksa anak usia di bawah lima tahun (balita) menguasai calistung dapat menyebabkan si anak terkena 'Mental Hectic’, yaitu anak menjadi pemberontak.
Penyakit itu akan merasuki anak di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar (SD).
Memaksakan anak menguasai calistung pada usia dini justru akan merusak kecerdasan mentalnya. Ia mungkin tampak jenius secara kognitif, namun fungsi otak lainnya akan terganggu. Otak manusia tidak hanya berfungsi untuk mengolah informasi kognitif, namun juga nalar dan karakter (akhlaq). Apabila kemampuan nalar dan akhlaq rendah, maka kemanusiaan akan jatuh pada titik nadir.
Apakah anak usia dini sama sekali dilarang belajar calistung? Belajar calistung secara tidak langsung diperbolehkan. Contohnya adalah:
- melihat ibunya menghitung gelas untuk menjamu tamu
- melihat kakaknya menikmati membaca buku
- menghitung jumlah anggota dalam sebuah permainan kelompok
- dsb.
Sebagai penutup, mari kita renungkan hadits Nabi SAW, “Perintahkanlah anakmu untuk sholat pada usia 7 tahun.” Sholat adalah urusan yang paling penting. Sholat adalah tiang agama. Untuk urusan terpenting saja, Nabi menyuruh kita menunda hingga anak mencapai usia 7 tahun. Padahal, apa salahnya menyuruh anak sholat sejak usia dini?
Keimanan kita kepada Allah dan Rasul membuat kita yakin bahwa apa-apa yang diperintahkan/dilarang adalah yang terbaik. Bila menyuruh anak sholat sejak usia dini memiliki efek positif, tentu Nabi akan mewasiatkan untuk mengajak anak-anak sholat sejak usia dini. Namun, Nabi justru membiarkan cucu-cucunya bermain di punggung beliau saat beliau mengimami sholat berjamaah di masjid. Demikian pula dalam hal belajar bidang-bidang lainnya. Pelajaran secara formal/langsung, baru boleh dilakukan ketika anak berusia 7 tahun. Sebelum usia itu, biarkan kanak-kanak menikmati canda tawanya, tanpa beban yang akan merusak akhlaknya.
Wa’alaykum salam wr wb.
Bu Irma yang disayang Allah,
Perkembangan pengajaran calistung disertai dengan tes-tes bagi anak-anak Playgroup dan TK sudah pada level mengkhawatirkan. Bila dulu, anak-anak cukup membeli buku persiapan UMPTN (masuk perguruan tinggi), diikuti dengan buku persiapan Ebtanas (setara Ujian Nasional), sekarang sudah banyak terbit buku-buku untuk persiapan tes masuk SD, seperti “Aku Siap Masuk SD” dan sejenisnya. Lebih jauh lagi, anak bayi pun sekarang sudah harus giat belajar menghadapi persaingan masuk TK sehingga banyak terbit buku-buku persiapan masuk TK, seperti “Sukses Masuk TK”, “99,99% Diterima Masuk TK Favorit”, dan “Lolos Tes Masuk TK.”
Bola liar calistung ini membuat Mendikbud, Dr. Muhammad Nuh, membuat pernyataan publik pada acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) di Depok, 11 Januari yang lalu. Beliau menegaskan bahwa mengajarkan calistung adalah kewajiban SD, bukan PAUD. Anak yang akan masuk sekolah tidak boleh dituntut sudah menguasai calistung [Situs resmi PAUD Kemdikbud RI].
Pernyataan Mendikbud ini sesuai dengan aturan hukum yang diatur dalam Permendiknas RI No. 58 TAHUN 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Ada 4 tingkat pencapaian terkait dengan kemampuan calistung bagi anak usia 4-6 tahun, yaitu:
1. Pura-pura membaca cerita bergambar dalam buku dengan kata-kata sendiri.
2. Berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, serta mengenal simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis dan berhitung.
3. Membaca nama sendiri.
4. Menuliskan nama sendiri.
Berdasarkan Permendiknas ini, kemampuan tertinggi yang diharapkan dari lulusan TK adalah membaca dan menulis namanya sendiri. Inipun cukup nama pendek, sekedar mengenali namanya dan memberi nama lembar kerjanya.
Untuk mendukung aturan ini, Dirjen Dasmen mengeluarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 Perihal : Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar. Ada 3 hal yang ditekankan dalam surat edaran ini, yaitu:
1. Pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung.
2. Pendidikan di TK tidak diperkenankan memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada anak didik dalam bentuk apapun.
3. Setiap sekolah dasar (SD) wajib menerima peserta didik tanpa melalui tes masuk.
Menurut aturan pemerintah, Sekolah PAUD yang mengajarkan materi calistung secara langsung dan SD yang mengadakan tes penerimaan murid justru telah melakukan pelanggaran. Hal ini harus disosialisasikan ke seluruh PAUD dan orang tua murid sehingga bersama-sama mematuhi aturan dan tidak memaksa anaknya menguasai calistung pada usia dini.
Mengapa pemerintah melarang pengajaran calistung secara langsung? Apa ruginya anak belajar calistung? Bukankah hal ini membantunya menguasai pelajaran SD? Bukankah makin terpakai otak, makin meningkat kecerdasannya?
Secara ringkas, pertanyaan-pertanyaan di atas telah dijawab oleh Direktur PAUD Kemdikbud, Sudjarwo Singowijoyo. Beliau mengatakan:
Memaksa anak usia di bawah lima tahun (balita) menguasai calistung dapat menyebabkan si anak terkena 'Mental Hectic’, yaitu anak menjadi pemberontak.
Penyakit itu akan merasuki anak di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar (SD).
Memaksakan anak menguasai calistung pada usia dini justru akan merusak kecerdasan mentalnya. Ia mungkin tampak jenius secara kognitif, namun fungsi otak lainnya akan terganggu. Otak manusia tidak hanya berfungsi untuk mengolah informasi kognitif, namun juga nalar dan karakter (akhlaq). Apabila kemampuan nalar dan akhlaq rendah, maka kemanusiaan akan jatuh pada titik nadir.
Apakah anak usia dini sama sekali dilarang belajar calistung? Belajar calistung secara tidak langsung diperbolehkan. Contohnya adalah:
- melihat ibunya menghitung gelas untuk menjamu tamu
- melihat kakaknya menikmati membaca buku
- menghitung jumlah anggota dalam sebuah permainan kelompok
- dsb.
Sebagai penutup, mari kita renungkan hadits Nabi SAW, “Perintahkanlah anakmu untuk sholat pada usia 7 tahun.” Sholat adalah urusan yang paling penting. Sholat adalah tiang agama. Untuk urusan terpenting saja, Nabi menyuruh kita menunda hingga anak mencapai usia 7 tahun. Padahal, apa salahnya menyuruh anak sholat sejak usia dini?
Keimanan kita kepada Allah dan Rasul membuat kita yakin bahwa apa-apa yang diperintahkan/dilarang adalah yang terbaik. Bila menyuruh anak sholat sejak usia dini memiliki efek positif, tentu Nabi akan mewasiatkan untuk mengajak anak-anak sholat sejak usia dini. Namun, Nabi justru membiarkan cucu-cucunya bermain di punggung beliau saat beliau mengimami sholat berjamaah di masjid. Demikian pula dalam hal belajar bidang-bidang lainnya. Pelajaran secara formal/langsung, baru boleh dilakukan ketika anak berusia 7 tahun. Sebelum usia itu, biarkan kanak-kanak menikmati canda tawanya, tanpa beban yang akan merusak akhlaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar