Pages

Test Footer

Test Footer 2

Blogroll

Blogger templates

Test Footer 1

Lenyapnya Hikmah dari Pendidikan Shalat

Diasuh oleh:
Dr. Erma Pawitasari, M.Ed
Doktor Pendidikan Islam PKU DDII bekerjasama dengan BAZNAS
Pertanyaan malalui e-mail: redaksi@suara-islam.com

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh


Ibu Erma, saya mendapatkan kiriman video berisi anak-anak perempuan berhijab dan berseragam sekolah sedang berpesta rokok dan miras di sebuah angkot. Apa yang salah dengan pendidikan agama kita, Bu, sehingga tidak membekas dalam perilaku? Apa yang salah dengan shalat kita sehingga tidak mampu mencegah perbuatan mungkar? Atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih.

Wassalam,

Ummu Abdullah – Jakarta


Wa’alaikumussalaam Warahmatullaahi Wabarakaatuh

Terima kasih atas pertanyaan Ummu Abdullah. Semoga Allah memudahkan Ibu dan kita semua dalam mendidik anak-anak kita.

Sesungguhnya pemerintah sudah menyadari adanya gap (jurang pemisah) antara ilmu dengan perilaku keseharian sehingga Kemdikbud mencetuskan Kurikulum 2013 yang disebut juga dengan Kurikulum Berkarakter. Namun, sayangnya, ide besar dan mulia ini tidak diimbangi dengan persiapan yang matang sehingga pada praktiknya pembelajaran sekolah tetap bertumbu pada penjejalan materi. Saya ambil contoh buku Senang Belajar Agama Islam Kelas 4 SD Kurikulum Karakter 2013. Buku ini diterbitkan oleh salah satu penerbit besar di bidang penerbitan buku sekolah. Materi buku ini tidak jauh berbeda dengan buku-buku sebelumnya.

Muatan karakter hanya berupa tempelan sehingga tidak mampu menggerakkan jiwa. Pada pembahasan shalat, isinya sekedar hafalan-hafalan shalat. Latihan soal sekedar menguji hafalan isi buku, seperti: “Membaca doa iftitah dilakukan setelah...” dan “Ada berapakah jumlah rukun salat? Jumlah syarat sah salat, dan sunnahnya salat?” Ada pula soal yang bertentangan dengan prinsip kebersihan. Contoh: “Salah satu makruhnya shalat adalah...” (pilihan ganda, jawabannya adalah meludah).

Kita sudah sering melihat bagaimana anak-anak yang dididik untuk shalat tidak mampu berperilaku sebagaimana shalatnya, namun kita belum mau beranjak dari konsep pendidikan lama yang menekankan pada hafalan materi. Tidak ada soal yang mengajak murid merenungkan makna shalat, seperti: “Apa pendapatmu tentang anak yang rajin shalat namun terkadang masih mencontek?” atau “Apa pendapatmu tentang remaja putri yang menutup aurat ketika shalat namun membuka auratnya di jalan?” atau “Apa pendapatmu tentang anak yang rajin shalat namun masih takut dengan hantu?” Untuk tingkat yang lebih tinggi, misalnya SMP, pertanyaannya disesuaikan menjadi: “Apa pendapatmu tentang seseorang yang menjalankan shalat namun suka berpacaran?” atau “Apa pendapatmu tentang seseorang yang menjalankan shalat namun mau diajak teman ikut pesta miras?”

Mengapa perubahan kurikulum tidak mampu mengubah model pengajaran? Salah satu sebabnya adalah tidak adanya visi dan misi yang jelas pada diri para guru. Banyak guru yang mengajar sekedar sebagai sarana mencari nafkah, kekuasaan, dan gengsi. Akibatnya, guru hanya transfer ilmu. Hanya guru yang berideologi yang akan mampu melakukan perubahan besar.

Pendidikan guru di negara-negara ideologis seperti Amerika Serikat berusaha untuk mengubah cara pandang para guru dari sekedar transfer ilmu ke penyebaran ideologi. Prof. Alan A. Block dari University of Wisconsin mengatakan, “Mengajar adalah untuk menyebarkan pandangan hidup.” Demikian pula dikatakan oleh Prof. Kenneth M. Zeichner, pengajar di University of Washington: “Tugas mendasar dalam pendidikan guru adalah mengembangkan kemampuan calon guru untuk memikirkan perilaku mereka dan menganalisa masalah-masalah moral, etik, dan politik, sebagaimana masalah alat/bahan ajar, sebab kesemuanya itu tidak bisa dilepaskan dari pemikiran & kehidupan sehari-hari mereka.”

Jauh-jauh hari, para ulama Islam sudah menegaskan visi misi ini. Ibn Khaldun mengatakan, “Konsep pendidikan yang terpenting adalah pemahaman fakta, dan Allah adalah fakta yang paling fundamental dan segala eksistensi di dunia ini bergantung padaNya.”
Ibn Sina menegaskan, “Pendidikan harus ditujukan untuk (mendapatkan keridloan) Allah SWT.”

Setiap guru harus memiliki visi misi yang jelas, yakni untuk menyebarkan pandangan hidup Islam, mendekatkan Islam ke hati anak-anak sehingga mereka menjadi insan-insan yang mengagungkan Allah melalui perilaku kesehariannya. Sebuah peribahasa menyatakan:

“Mengajar berhitung hanya memerlukan waktu beberapa bulan, namun mengajar budi pekerti memerlukan waktu bertahun-tahun.” Dalam konteks pendidikan shalat, kita lihat bahwa seorang mu’alaf mempelajari hafalan shalat dalam waktu beberapa hari/minggu saja, namun memahami hikmah shalat itu yang tidak mungkin terjadi tanpa pendidikan berkesinambungan, dari kecil hingga dewasa.

Saya akan berikan beberapa contoh soal yang seharusnya kita berikan pada pembahasan shalat, antara lain:

1. Menurutmu, apa makna sujud dalam shalat kita? - mengajarkan ketundukan kepada Allah.
2. Mengapa Allah mewajibkan kita bersuci sebelum shalat? - mengajarkan konsep kebersihan
3. Bagaimana aplikasi shalat berjamaah dalam konteks kehidupan sosial? - mengajarkan persatuan dan kepemimpinan umat
4. Sebutkan dua contoh perilaku yang bertentangan dengan makna shalat. Jelaskan alasannya.  - mengajarkan refleksi perilaku

Demikian yang dapat saya sampaikan dalam tempat yang terbatas ini. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.