Shalat adalah ibadah yang paling penting dan utama dari sekian banyak
jenis ibadah. Oleh karena itu, shalat menjadi rukun Islam kedua setelah
kalimat syahadat. Banyak dalil yang menunjukkan akan pentingnya ibadah
shalat. Pensyariatan shalat yang langsung disampaikan oleh Allah kepada
Nabi Muhammad – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tanpa perantara Malaikat
Jibril, ketika mi’raj, adalah salah satu dari sekian banyak dalil itu.
Karena pentingnya perkara shalat ini, para Nabi pun senantiasa diperintahkan untuk shalat. Nabi Isa – ‘alaihissalam – sebagai contoh, beliau berkata sebagaimana disampaikan oleh Allah dalam firman-Nya,
وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
“Dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (Maryam: 31)
Dan Nabi Ismail – ‘alaihissalam -, beliau senantiasa memerintahkan keluarganya untuk shalat. Allah berfirman,
وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
“Dan ia (Nabi Ismail) menyuruh keluarganya untuk shalat dan
menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.”
(Maryam: 55)
Demikian pula Nabi kita Muhammad – shallallahu ‘alaihi wa sallam -,
selain diperintah untuk shalat beliau pun diperintahkan oleh Allah agar
beliau memerintahkan keluarganya menegakkan shalat, serta bersabar
atasnya. Allah berfirman,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)
Sebagai praktiknya, setelah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa
sallam – mendapatkan perintah agar memerintahkan keluarganya untuk
shalat, selama delapan bulan beliau – shallallahu ‘alaihi wa sallam –
mendatangi pintu Ali – radhiyallahu ‘anhu – ketika shalat shubuh dan
berkata, “Tegakkanlah shalat, semoga Allah merahmati kalian,
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Dan jika keluarga
Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – mendapatkan suatu hajat atau
kebutuhan, maka beliau menyeru mereka untuk mendirikan shalat, “Wahai
keluargaku, shalatlah kalian, shalatlah kalian.” Dan kebiasaan para
Nabi, jika mereka tertimpa suatu musibah, maka mereka akan segera menuju
shalat. Demikian pula Nabi kita – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, jika
keluarga beliau tertimpa kesusahan atau kesempitan, maka beliau
memerintahkan mereka untuk shalat, dan beliau membaca ayat “Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat…” [Lihat Fathul Qadir
dalam tafsir Surat Thaha ayat 132]
Perintah di atas, meski pada mulanya ditujukan kepada Rasulullah –
shallallahu ‘alaihi wa sallam -, namun kita sebagai umat beliau –
shallallahu ‘alaihi wa sallam – juga terkena perintah tersebut. Dan
tentu saja kita harus menaladani beliau dalam hal ini (dan juga hal-hal
lainnya). Terlebih lagi karena memerintahkan keluarga untuk menegakkan
shalat termasuk pengamalan dari perintah Allah kepada seluruh kaum
mukminin agar menjaga diri dan keluarga dari siksaan api neraka. Allah
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)
Khusus tentang perintah shalat kepada anak-anak, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah bersabda,
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ
فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berumur
tujuh tahun, dan pukullah mereka atasnya (yakni jika tidak
melaksanakannya) ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah
antara mereka dalam hal tempat tidur.” [Riwayat Abu Daud, dihasankan
oleh al-Albani - rahimahullah -, lihat Shahihul Jami' no. 5868]
Perintah Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kepada para bapak
untuk memerintahkan anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan untuk
melaksanakan shalat ini bukan berarti shalat itu wajib bagi mereka,
karena kewajiban shalat adalah ketika mereka sudah mencapai umur baligh.
Hanya saja perintah ini dan pukulan itu adalah sebagai bentuk
pendidikan dan pengajaran kepada mereka akan pentingnya perkara shalat
ini, dan agar mereka terbiasa melaksanakannya.
Dan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan demikian
kepada para orang tua karena hal ini adalah salah satu bentuk perhatian
yang sempurna dari orang tua kepada anak, sekaligus sebagai pelaksanaan
tanggung jawab yang dipikul setiap orang tua. Oleh karena itu, pukulan
yang dimaksud dalam hadits itu bukanlah pukulan yang bertujuan untuk
melukai, akan tetapi pukulan wajar dan tidak melukai atau membekas, yang
bertujuan sebagai pendidikan atau pengajaran agar si anak tidak
menyia-nyiakan dan menyepelekan masalah shalat.
Perintah mengerjakan shalat bagi anak-anak tentunya harus diiringi
dengan perintah atau pengajaran tentang tata cara shalat yang benar
kepada mereka, termasuk juga pengajaran syarat shalat seperti wudhu dan
lain sebagainya. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dahulu pun
juga mengajarkan tata cara shalat beserta bacaan-bacaannya kepada
anak-anak. Seperti dituturkan oleh al-Hasan bin Ali – radhiyallahu
‘anhuma – tentang bacaan qunut witir yang diajarkan langsung oleh
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kepadanya. Dia berkata,
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – mengajariku beberapa
kalimat yang aku ucapkan dalam witir,
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ
وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي
شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا
يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ
رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Ya Allah, berilah hidayah kepadaku dalam golongan orang-orang yang
Engkau beri hidayah, berilah keselamatan kepadaku dalam golongan
orang-orang yang Engkau beri keselamatan, uruslah aku dalam golongan
orang-orang yang Engkau urus, berilah berkah kebaikan untukku dalam apa
yang Engkau berikan, lindungilah aku dari keburukan apa yang Engkau
tetapkan, sesungguhnya Engkaulah yang menetapkan dan tidak ada yang
mengoreksi ketetapan-Mu, sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau
cintai dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi, Engkau maha penuh
dengan kebaikan wahai Rabb kami, dan Engkau maha tinggi keagungan-Mu.”
[Riwayat Abu Daud, dishahihkan oleh al-Albani - rahimahullah -]
Demikian pula ketika Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – bermalam di
rumah bibinya, Maimunah – radhiyallahu ‘anha -, istri Rasulullah –
shallallahu ‘alaihi wa sallam -, dia shalat bermakmum bersama Nabi –
shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Sebagaimana dalam riwayat al-Bukhari
dan Muslim, awalnya Ibnu Abbas berdiri di sebelah kiri Rasulullah –
shallallahu ‘alaihi wa sallam -, kemudian Rasulullah – shallallahu
‘alaihi wa sallam – memindah Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – dan
menempatkannya di sebelah kanan beliau. Ini adalah pengajaran beliau –
shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang tata cara bermakmum jika hanya
seorang dengan imam, kepada Ibnu Abbas yang notabene masih terhitung
sebagai anak kecil ketika itu.
Tidak hanya pelaksanaan tata cara shalat saja yang menjadi perhatian
salaf dalam pengajaran shalat kepada anak-anak mereka. Bahkan mereka
memberikan perhatian sangat besar untuk mendidik anak dalam masalah
shalat berjamaah (Lihat tentang ini dalam kitab Ahammiyah Shalatil Jama’ah, karya Dr. Fadhl Ilahi, hlm. 80-82).
Di antara mereka adalah seorang sahabat yang pernah ikut serta dalam
perang Badar, bertanya kepada anaknya apakah dia mendapati shalat
berjamaah, apakah dia mendapati takbir pertama imam.
Dan adalah Umar bin Abdulaziz ketika kecilnya dikirim oleh orang
tuanya ke Madinah untuk mempelajari adab. Maka dipilihlah Shalih bin
Kaisan untuk mendidiknya. Maka dia pun mengharuskan Umar untuk
melaksanakan shalat. Suatu hari, Umar terlambat dalam melaksanakan
shalat. Maka ditanyalah dia kenapa terlambat. Umar pun menjawab, karena
rambutnya sedang dirapikan oleh tukang sisir rambutnya. Ketika berita
ini sampai kepada Abdulaziz, bapaknya, dia pun mengutus seseorang untuk
menghukumnya dengan menggunduli rambutnya.
Bahkan di antara salaf, karena perhatian mereka tentang masalah
shalat berjamaah, sampai mendorong anaknya untuk menetapi masjid,
menjadikan masjid sebagai rumahnya, sebagaimana yang dianjurkan Abu
Darda – radhiyallahu ‘anhu – kepada anaknya.
Demikianlah mereka dahulu memberikan perhatian yang sangat besar
kepada masalah shalat ini. Dan mereka mengajarkan hal tersebut kepada
anak-anak mereka. Maka, hendaknya demikianlah kita meneladani para salaf
dalam memberikan perhatian yang besar dan pengajaran kepada anak-anak
kita dalam masalah shalat. Wallahu a’lam. (***)
Sumber: Rubrik Lentera, Majalah Sakinah, Vol. 11 No. 7
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar