Dunia pendidikan kita adalah dunia sekolah.
Belajar selalu
diidentikkan dengan sekolah. Yang dinamakan belajar itu yang bersekolah.
Kalau tidak bersekolah berarti tidak belajar. Itulah pemahaman
mainstream yang dianggap sebagai kebenaran pada saat ini.
Akibatnya, makna belajar menjadi
menyempit. Belajar diidentikkan dengan bagaimana sekolah
diselenggarakan. Jadi, yang disebut belajar itu ada jam khususnya,
antara jam 7-12. Belajar itu tentang mata pelajaran, kalau bukan tentang
mata pelajaran bukan dinamakan belajar, tetapi sekedar hobi. Belajar
itu harus duduk diam mendengarkan penjelasan guru; kalau menonton Great
Migration di NGC atau mengoprek alat elektronik, itu bukan belajar
tetapi hanya mengisi waktu luang. Belajar itu harus keluar rumah dan di
gedung tertentu; kalau membuat masakan di rumah itu bukan belajar, tapi
membantu pekerjaan orangtua.
Halah…. menyedihkan. Tapi begitulah kira-kira potret pandangan umum tentang belajar yang sudah dirancukan dengan sekolah.
**
Padahal, belajar jauh lebih luas maknanya daripada bersekolah.
Sekolah hanyalah salah satu bentuk dan model belajar. Tetapi, belajar
itu sendiri tak identik dengan sekolah. Yang wajib itu adalah belajar,
bukan sekolah.
Oleh karena itu, tantangan besar kita adalah mengembalikan keluasan
makna belajar. Belajar bisa apa saja (yang diminati), belajar bisa
dilakukan di mana saja (yang disukai), belajar bisa terjadi kapan saja
(diinginkan), belajar bisa dari siapa saja (yang mencerahkan).
Itulah pendidikan sepanjang hayat, kehidupan yang menjadi ruang belajar sekaligus proses belajar.
Bisakah kita?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar