Setiap anak harus mengembangkan perasaan bahwa mereka dapat “mengubah dunia” dan memiliki kekuatan dari dalam (inner strength) dan percaya bahwa mereka adalah orang yang memiliki kompetensi dan kemampuan. Secara alamiah, dorongan ini muncul pada diri anak semenjak bayi. Mereka belajar menggunakan tangis, senyum, gerakan dan suara-suara untuk memanggil orangtuanya, meminta perhatian dan “memaksa” orangtua memenuhi keinginannya.
Usia
dua tahun, dorongan untuk mengembangkan kemampuan “mengubah dunia” itu semakin
menguat. Para ahli menyebut rentang usia dua hingga empat tahun sebagai the
terrible twos atau masa-masa dua tahun yang “mengerikan”. Ungkapan ini mungkin
terasa berlebihan. Tetapi pada prinsipnya, para ahli menyampaikan pesan dengan
ungkapan ini bahwa anak-anak usia dua hingga empat tahun sedang mengembangkan
kemampuannya mengatur, memaksa, menolak perintah dan melakukan tawar-menawar
terhadap aturan orang dewasa. Lebih-lebih jika diperintah secara tiba-tiba,
mereka cenderung menunjukkan perlawanannya. Mereka ingin menyampaikan pesan
kepada dunia bahwa mereka tidak bisa dipaksa.
Kecenderungan
ini sangat alamiah. Setiap anak harus memiliki dorongan ini sebagai bekal untuk
mengembangkan apa yang disebut sebagai sense of competence (perasaan bahwa
dirinya memiliki kompetensi). Orangtua maupun guru di sekolah berkewajiban
menumbuhkan sense of competence ini pada diri anak, terutama usia 4-8 tahun.
Jika anak memiliki perasaan ini secara memadai pada rentang usia 4-6 tahun,
mereka akan lebih siap untuk memasuki fase pendisiplinan diri pada usia 7
tahun. Pada saat yang sama, orangtua maupun guru di sekolah tetap berkewajiban
membangun sense of competence hingga usia 8 tahun sehingga mereka memiliki
citra diri, harga diri serta percaya diri yang baik.
Mengapa
fase pendisiplinan dimulai pada usia 7 tahun? Ini berkait dengan perintah
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam (SAW). Beliau bersabda, ”Apabila anak
telah mencapai usia tujuh tahun, perintahkanlah dia untuk melaksanakan shalat.
Dan pada saat usianya mencapai sepuluh tahun, pukullah dia apabila
meninggalkannya.” (Riwayat Abu Dawud).
Dalam
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda,
”Ajarkanlah anakmu tata cara shalat ketika telah berusia tujuh tahun. Dan
pukullah dia pada saat berusia sepuluh tahun (apabila meninggalkannya).”
(Riwayat Tirmidzi).
Hadits
ini menunjukkan dengan sangat jelas kepada kita bahwa mendisiplinkan anak
shalat dimulai pada usia tujuh tahun. Bukan usia sebelumnya. Kita perlu memberi
pendidikan iman, akhlak dan ibadah sedini mungkin. Tetapi ada prinsip lain yang
harus kita perhatikan: berikanlah pendidikan tepat pada waktunya. Sesungguhnya,
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW dan sebaik-baik perkataan
adalah firman Allah ’Azza wa Jalla, yakni kitabullah al-Qur’anul Kariim.
Jadi,
kalau anak yang belum berusia tujuh tahun tidak mengerjakan shalat, kita harus
memaklumi dan melapangkan hati. Tugas kita adalah menumbuhkan perasaan positif
terhadap kebiasaan yang ingin kita tumbuhkan, membangkitkan sense of competence
(perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi) serta menjamin bahwa mereka
memiliki harga diri yang tinggi. Kita memperlakukan mereka secara terhormat,
tetapi bukan memanjakan.
Allah
Subhanahu wa ta’ala (SWT) berfirman, ”Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta
rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu
adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaahaa [20]: 132).
Sabar.
Ah…, rasanya kata ini yang kerap kali hilang ketika kita memerintahkan
anak-anak kita untuk mendirikan shalat. Karena keinginan yang kuat agar mereka
menjadi anak-anak shalih yang mendoakan, kita haruskan mereka melakukan shalat
bahkan ketika usianya belum genap empat tahun. Karena besarnya tekad agar
mereka tidak mengabaikan shalat, kita memarahi anak-anak dengan ucapan dan
cubitan atas sebab kurang seriusnya mereka shalat, padahal usianya baru saja
memasuki lima tahun. Atau…, kita mudah marah kepada mereka disebabkan kita
tidak mau bersusah-payah berusaha? Kita ingin memperoleh hasil yang cepat
dengan usaha yang sedikit. Lantas, apa hubungan dengan televisi? Mohon sabar
menunggu pembahasan berikutnya. Wallahu ’alam bishawab.oleh: M.Fauzil Adhim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar