Oleh Mohammad
Fauzil Adhim
Apakah doa-doa kita telah cukup untuk
mengantar anak-anak menuju masa depan yang menenteramkan? Apakah
nasehat-nasehat yang kita berikan telah cukup untuk membawa mereka pada
kehidupan yang mulia? Ataukah kita justru merasa telah cukup memberi bekal
kepada anak-anak kita dengan mengirim mereka ke sekolah-sekolah terbaik dan
fasilitas yang lengkap? Kita telah merasa sempurna sebagai orangtua karena
bekal ilmu telah melekat kuat dalam diri kita.
Hari-hari ini, ada yang perlu kita renungkan.
Betapa banyak ahli ibadah yang keturunannya jauh dari munajat kepada Allah
‘Azza wa Jalla. Tak ada anak yang mendoakannya sesudah kematian datang. Begitu
pula, alangkah banyak orangtua yang nasehatnya diingat dan petuahnya
dinanti-nanti ribuan manusia. Tetapi sedikit sekali yang berbekas dalam diri
anak. Padahal tak ada niatannya untuk melalaikan anak sehingga lupa memberi
nasehat.
Ah, rasanya kita masih banyak menemukan
paradoks yang susah untuk dibantah. Ada orang-orang yang tampaknya kurang
sekali kemampuannya dalam memilih kata, tetapi anak-anaknya mendengarkan
nasehatnya dengan segenap rasa hormat. Ada orangtua yang tampak sekali betapa
kurang ilmunya dalam pengasuhan, tetapi ia mampu mengantarkan anak-anaknya
menuju masa depan yang terarah dan bahagia.
Tak ada yang ia miliki selain pengharapan yang
besar kepada Allah ‘Azza wa Jalla, seraya harap-harap cemas dikarenakan
kurangnya ilmu yang ia miliki dalam mengasuh anak. Sebaliknya, ada orangtua
yang begitu yakinnya bisa mendidik anak secara sempurna. Tapi tak ada yang bisa
ia banggakan dari anak-anak itu di masa dewasa, kecuali kenangan masa kecilnya
yang lucu menggemaskan.
Agaknya, ada yang perlu kita tengok kembali
dalam diri kita, sudahkah kita memiliki bekal untuk mengasuh anak-anak itu
menuju masa dewasa? Tanpa menafikan bekal lain yang kita perlukan dalam
mengasuh anak, terutama yang berkait dengan ilmu, kita perlu merenungi sejenak
firman Allah Ta’ala:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisaa’
[4]: 9)
Mujahid menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan permintaan Sa’ad bin Abi Waqash tatkala sedang sakit keras.
Pada saat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam datang menjenguk, Sa’ad
berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak
perempuan. Apakah aku boleh menginfakkan dua pertiga dari hartaku?”
Rasulullah bersabda, “Tidak boleh.”
“Separo, ya Rasul?”
“Tidak,” jawab Rasul lagi.
“Jika sepertiga, ya Rasul?”
Rasul mengizinkan, “Ya, sepertiga juga sudah
banyak.” Rasulullah kemudian bersabda, “Lebih baik kamu meninggalkan ahli
warismu dalam keadaan berkecukupan daripada dalam keadaan miskin yang
meminta-minta kepada orang lain.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Berpijak pada ayat ini, ada tiga pelajaran
penting yang perlu kita catat. Betapa pun inginnya kita membelanjakan sebagian
besar harta kita untuk kepentingan dakwah ilallah, ada yang harus kita
perhatikan atas anak-anak kita. Betapa pun besar keinginan kita untuk
menghabiskan umur di jalan dakwah, ada yang harus kita periksa terkait kesiapan
anak-anak dan keluarga kita.
Sangat berbeda keluarga Umar bin Khaththab dan
Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhuma dengan keluarga sebagian sahabat
Nabi lainnya. Umar menyedekahkan separo dari hartanya, sedangkan Abu Bakar
tidak meninggalkan untuk keluarganya kecuali Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar
menginfakkan seluruh hartanya. Dan Rasulullah mengizinkan sekaligus menyambut
baik amal shaleh keduanya.
Lalu, bagaimanakah dengan keluarga
kita?Kembali kepada pada perbincangan awal kita. Ada tiga bekal yang perlu kita
miliki dalam mengasuh anak-anak kita.
Pertama, rasa takut terhadap masa depan
mereka. Berbekal rasa takut, kita siapkan mereka agar tidak menjadi generasi
yang lemah. Kita pantau perkembangan mereka kalau-kalau ada bagian dari hidup
mereka saat ini yang menjadi penyebab datangnya kesulitan di masa mendatang.
Sesungguhnya, di antara penyebab kelalaian
kita menjaga mereka adalah rasa aman. Kita tidak mengkhawatirkan mereka sedikit
pun, sehingga mudah sekali kita mengizinkan mereka untuk asyik-masyuk dengan TV
atau hiburan lainnya. Kita lupa bahwa hiburan sesungguhnya dibutuhkan oleh
mereka yang telah penat bekerja keras. Kita lupa bahwa hiburan hanyalah untuk
menjaga agar tidak mengalami kejenuhan.
Hari ini, banyak orang berhibur bahkan ketika
belum mengerjakan sesuatu yang produktif. Sama sekali!
Kedua, takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Andaikata tak ada bekal pengetahuan yang kita miliki tentang bagaimana mengasuh
anak-anak kita, maka sungguh cukuplah ketakwaan itu mengendalikan diri kita.
Berbekal takwa, ucapan kita akan terkendali dan tindakan kita tidak melampaui
batas. Seorang yang pemarah dan mudah meledak emosinya, akan mudah luluh kalau
jika ia bertakwa. Ia luluh bukan karena lemahnya hati, tetapi ia amat takut
kepada Allah Ta’ala. Ia menundukkan dirinya terhadap perintah Allah dan
rasul-Nya seraya menjaga dirinya agar tidak melanggar larangan-larangan-Nya.
Ingin sekali saya berbincang tentang perkara
takwa, tetapi saya tidak sanggup memberanikan diri karena saya melihat masih
amat jauh diri saya dari derajat takwa. Karena itu, saya mencukupi pembicaraan
tentang takwa sampai di sini. Semoga Allah Ta’ala menolong kita dan memasukkan
kita beserta seluruh keturunan kita ke dalam golongan orang-orang yang
bertakwa. Allahumma amin.
Ketiga, berbicara dengan perkataan yang benar
(qaulan sadidan). Boleh jadi banyak kebiasaan yang masih mengenaskan dalam diri
kita. Tetapi berbekal takwa, berbicara dengan perkataan yang benar akan
mendorong kita untuk terus berbenah. Sebaliknya, tanpa dilandasi takwa dan
berbicara dengan perkataan yang benar, dapat menjadikan diri kita terbiasa
mendengar perkara yang buruk dan pada akhirnya membuat kita lebih permisif terhadapnya.
Kita lebih terbiasa terhadap hal-hal yang kurang patut.
Karenanya, dua hal ini harus kita perjuangkan
agar melekat dalam diri kita. Dua perkara ini, takwa dan berbicara dengan
perkataan yang benar kita upayakan agar semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Sekiranya keduanya ada dalam diri kita, maka Allah akan baguskan diri kita dan
amal-amal kita.
Allah Ta’ala berfirman,“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab [33]: 70-71)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar