Sabar.
Ah…, rasanya kata ini yang kerap kali hilang ketika kita memerintahkan anak‐anak
kita untuk mendirikan shalat. Karena keinginan yang kuat agar mereka menjadi
anak‐anak shalih yang mendoakan, kita haruskan
mereka melakukan shalat bahkan ketika usianya belum genap empat tahun. Karena
besarnya tekad agar mereka tidak mengabaikan shalat, kita memarahi anak‐anak
dengan ucapan dan cubitan atas sebab kurang seriusnya mereka shalat, padahal
usianya baru saja memasuki lima tahun. Atau…, kita mudah marah kepada mereka
disebabkan kita tidak mau bersusah‐payah berusaha?
Kita ingin memperoleh hasil yang cepat dengan usaha yang sedikit.
Apa
yang membuat para orangtua semakin menipis kesabarannya? Selain karena lemahnya
tujuan dan tidak adanya visi ke depan dalam mendidik anak, banyaknya waktu
menonton TV juga sangat berpengaruh. Selama menonton TV, otak kita cenderung
pasif. Ron Kauffman, pendiri situs TurnOffYourTV.com, menunjukkan bahwa selama
menonton TV pikiran dan badan kita bersifat pasif (berada pada kondisi alfa).
Tidak siap untuk berpikir. Jika keadaan ini terus berlanjut, orangtua akan cenderung
bersikap dan bertindak secara reaktif. Bukan responsif. Mereka mudah marah
ketika mendapati anak melakukan apa yang dirasa mengganggu. Mereka juga mudah
bertindak kasar jika anak tidak segera melakukan apa yang diinginkan orangtua.
Apalagi jika sebelumnya mereka sudah memiliki kecenderungantemperamental,
semakin cepatlah mereka naik darah.
Di
luar itu, secara alamiah kita –anak‐anak maupun
dewasa—cenderung tidak siap melakukan pekerjaan lain secara tiba‐tiba
jika sedang asyik melakukan yang lain. Kalau Anda sedang asyik nonton
pertandingan sepak bola, telepon dari bos Anda pun bisa terasa sangat
mengganggu. Apalagi kalau gangguan itu berupa permintaan istri untuk
membersihkan kamar mandi, keasyikan menonton atraksi kiper menepis bola bisa
membuat emosi Anda mendidih. Apatah lagi jika gangguan itu datang dari rengekan
anak Anda yang minta diantar pipis…!
Jika
menonton TV sudah menjadi bagian hidup orangtua yang menyita waktu berjam‐jam
setiap harinya, pola perilaku yang reaktif, impulsif dan emosional itu lama‐lama
menjadi karakter pengasuhan. Semakin tinggi tingkat keasyikan orangtua menonton
TV, semakin tajam ”kepekaan” mereka terhadap perilaku anak yang ”mengganggu”
dan ”membangkang”. Akibatnya, semakin banyak keluh‐kesah,
kejengkelan dan kemarahan yang meluap kepada anak‐anak tak berdosa
itu. Lebih menyedihkan lagi kalau lingkaran negatif menumbuhkan keyakinan bahwa
anak‐anak (sekarang) memang susah diatur.
MATIKAN TV ANDA DAN BERBAHAGIALAH
Satu
lagi masalah yang sering dihadapi orangtua: merasa tidak ada waktu untuk
mendampingi anak. Kesibukan selalu merupakan alasan klasik yang membenarkan
hampir semua kesalahan kita. Kita tidak punya waktu untuk anak. Tetapi kita
memiliki kesempatan untuk menonton TV begitu tiba di rumah, karena orang sibuk memerlukan
hiburan. Sebuah alasan yang sangat masuk akal ketika istri tak lagi cukup untuk
menghibur hati.
Nah.
Apakah
tidak ada jalan untuk membalik keadaan? Matikan TV dan hidupkan hati Anda.
Kalau Anda merasa benar‐benar memerlukan TV, susun jadwalnya. Pastikan
Anda menonton, misalnya maksimal satu jam sehari semalam atau setengah dari
itu, dan tentukan Anda hanya melihat tayangan yang benar‐benar
bergizi. Bukan cerita-cerita kosong yang tidak berarti.
Begitu
Anda mematikan TV dan mengalihkan hiburan dalam bentuk bercanda dengan anak‐istri,
insya Allah Anda akan mendapatkan beberapa keuntungan ganda sekaligus. Anda
mendapatkan waktu dan kesempatan untuk bercanda maupun bercakap-cakap –bukan
sekedar berbicara dengan orang‐orang yang Anda
cintai; Anda juga menabung kesabaran; sekaligus Anda membangun kedekatan hati
dengan keluarga.
Al‐Qur’an
membedakan berbicara dengan bercakap‐cakap (ngobrol).
Berbicara bersifat satu arah, sedangkan ngobrol bersifat mengalir dimana kita
saling mengajukan pertanyaan, tapi bukan berupa tanya‐jawab.
Ngobrol membuat hati semakin dekat satu sama lain. Ngobrol juga menjadikan
perasaan kita lebih hidup. Tentu saja, apa yang kita obrolkan juga berpengaruh.
Di
dalam surat Ash‐Shaaffaat, Allah ’Azza wa Jalla menunjukkan
bahwa ngobrol merupakan salah satu kenikmatan surga. Allah Ta’ala berfirman,
”Di sisi mereka ada bidadari‐bidadari yang tidak
liar pandangannya dan jelita matanya, seakan akan mereka adalah telur (burung
unta) yang tersimpan dengan baik. Lalu sebagian mereka menghadap kepada
sebagian yang lain sambil bercakap‐cakap.” ( Ash‐Shaaffaat
[37]: 48‐50).
Ya,
bercakap‐cakap dengan obrolan yang baik. Inilah
kenikmatan surga yang bisa kita hadirkan di rumah kita tanpa harus mati
terlebih dahulu. Pada saat ngobrol, kita bisa memberi dukungan sekaligus
dorongan positif bagi anak‐anak kita. Ini
merupakan salah satu yang sangat mereka perlukan untuk mengembangkan sense of
competence (perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi). Dukungan dan
doronganpositif yang kita berikan di saat yang tepat, sangat berperan untuk
membangun diri dan percaya diri mereka. Tetapi ini sulit sekali kita berikan
kepada mereka jika kesabaran tidak ada, waktu tidak punya dan keakraban tidak
terjalin. Kita berbicara kepada mereka, tetapi tidak berkomunikasi. Kita
mendengar suara mereka, tetapi tidak mendengarkan perkataan dan isi hatinya.
Sebabnya, otak kita sudah penat karena beban kerja dan tayangan TV yang menyita
energi otak kita. oleh: M.Fauzil Adhim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar