Tips Sederhana Mengajarkan Al- Quran Pada Anak (Metode Talkin)
PRILAKU SIBUK ORANG TUA MENJADIKAN ANAKNYA YATIM
Semoga Putra Putrimu Bukan Anak Yatim Korban Kesibukanmu... #
Ust. Firanda MA
Seorang penyair berkata :
لَيْسَ الْيَتِيْمَ مَنِ انْتَهَى أَبَوَاهُ *** مِنْ هَمِّ الْحَيَاةِ وَخَلَّفَاهُ ذَلِيلْاً
Bukanlah anak yatim adalah anak yang kedua orang tuanya telah tiada dan meninggalkannya dalam keadaan hina
إِنّٓ الْيٓتِيْمٓ هُوٓ الَّذِي تَلْقٓى لٓهُ *** أُمًّا تَخَلَّتْ أَوْ أَباً مَشْغُوْلاً
Akan tetapi anak yatim adalah anak yang kau dapati ibunya tidak memperdulikannya atau ayahnya sibuk tidak mengurusnya
Ust. Firanda MA
Seorang penyair berkata :
لَيْسَ الْيَتِيْمَ مَنِ انْتَهَى أَبَوَاهُ *** مِنْ هَمِّ الْحَيَاةِ وَخَلَّفَاهُ ذَلِيلْاً
Bukanlah anak yatim adalah anak yang kedua orang tuanya telah tiada dan meninggalkannya dalam keadaan hina
إِنّٓ الْيٓتِيْمٓ هُوٓ الَّذِي تَلْقٓى لٓهُ *** أُمًّا تَخَلَّتْ أَوْ أَباً مَشْغُوْلاً
Akan tetapi anak yatim adalah anak yang kau dapati ibunya tidak memperdulikannya atau ayahnya sibuk tidak mengurusnya
Pengaruh Kebaikan Dan Amal Shalih Orang Tua
Wahai
bapak dan ibu, ketika kita dapati anak kita tidak sesuai dengan
harapan, maka terlebih dahulu hendaknya kita melihat diri kita.
Barangkali pada diri kita masih ada kesalahan atau dosa-dosa yang masih
sering kita lakukan. Karena sesungguhnya amalan-amalan yang dilakukan
orangtua akan memberi pengaruh terhadap keshalihan anak.
Seorang anak yang melihat ayahnya selalu berdzikir, mengucapkan
tahlil, tahmid, tasbih, dan takbir niscaya akan menirunya mengucapkan
kalimat-kalimat tersebut.
Demikian juga seorang anak yang diutus orang tuanya untuk memberi
sedekah kepada orang-orang miskin dirumah-rumah berbeda dengan seorang
anak yang disuruh orang tuanya membeli rokok dan barang-barang
memabukkan. Seorang anak melihat ayahnya berpuasa senin kamis dan
melaksanakan shalat jumat dan jama’ah tidak sama dengan anak yang
melihat kebiasaan ayahnya nongkrong di kafe, diskotik, dan bioskop.
Kita bisa membedakan antara seorang anak yang sering mendengar adzan
dengan seorang anak yang sering mendengar ayahnya bernyanyi. Anak-anak
itu pasti akan meniru apa yang sering mereka dengar.
Bila seorang ayah selalu berbuat baik kepada orang tuanya, mendoakan
dan memohonkan ampunan untuk mereka, selalu berusaha tahu kabar
mereka, menenangkan mereka, memenuhi kebutuhan mereka, memperbanyak
berdoa, “rabbighfirli wa li wali dayya..”, berziarah ke kuburan
mereka bila telah meninggal, dan bersedekah untuk mereka, serta tetap
menyambung hubungan dengan teman-teman mereka dan member hadiah dengan
orang-orang yang biasa diberi hadiah oleh mereka dahulu. Maka anak yang
melihat akhlak ayahnya seperti ini dengan seizin Allah akan menontohnya
dan juga akan memohonkan ampunan untuk orangtuanya.
Seorang anak yang diajari shalat tidak sama dengan anak yang dibiasakan nonton film, musik, dan sepak bola.
Seorang anak yang melihat ayahnya shalat di malam hari, menangis
karena takut kepada Allah, membaca Al Qur’an, pasti akan berfikir, “Mengapa
ayah menangis, mengapa ayah shalat, untuk apa ayah tidur meninggalkan
ranjangnya yang enak lalu berwudhu dengan air dingin di tengah malam
seperti ini? Untuk apakah ayah sedikit tidur dan berdoa dengan penuh
pengharapan dan diliputi kecemasan?”
Semua pertanyaan ini akan berputar dibenaknya dan akan selalu hadir
dalam pikirannya. Selanjutnya dia akan mencontoh apa yang dilakukan
ayahnya.
Demikian juga dengan seorang anak perempuan yang melihat ibunya
berhijab dari laki-laki yang bukan mahramnya, menutup aurat di hadapan
mereka, berhias dengan akhlak malu, ketenangan, dan menjaga kesucian
diri. Dia akan mempelajari dari ibunya akhlak tersebut.
Beda dengan seorang anak perempuan yang selalu melihat ibunya
bersolek di depan para lelaki bukan mahram, bersalaman, berikhtilat,
duduk bersama mereka, tertawa, tersenyum, bahkan berdansa dengan lelaki
bukan mahram. Dia akan mempelajari semua itu dari ibunya.
Karena itu takutlah kepada Allah wahai Ayah Ibu, dalam membina
anak-anak kalian! Jadilah Anda berdua teladan yang baik, berhiaslah
dengan akhlak yang baik, tabiat yang mulia, dan sebelum itu semua
berpegang teguh dengan agama ini dan cintailah Allah dan rasul-Nya.
Penjagaan Allah Terhadap Keturunan Orang Tua yang Shalih
Keshalihan dan amal baik orang tua memiliki dampak yang besar bagi
keshalihan anak-anaknya, dan memberikan manfaat bagi mereka di dunia
dan akhirat. Sebaliknya amal-amal jelek dan dosa-dosa besar yang
dilakukan orangtua akan berpengaruh jelek terhadap pendidikan
anak-anaknya.
Pengaruh-pengaruh tersebut diatas datang dengan berbagai bentuk.
Diantaranya berupa keberkahan amal-amal shalih dan pahala yang Allah
sediakan untuknya. Atau sebaliknya berupa kesialan amal-amal jelek dan
kemurkaan Allah serta akibat jelek akan diterimanya.
Jika orang tua shalih dan gemar melaksanakan amalan baik maka akan
mendapatkan ganjaran dan pahala yang dapat dirasakan anak. Ganjaran
tersebut dapat berupa penjagaan, rizki yang luas, dan pembelaan dari
murka Allah. Adapun amal jelek orang tua, akan berdampak jelek terhadap
anak. Dampak tersebut dapat berupa musibah, penyakit, dan
kesulitan-kesulitan lain.
Oleh karena itu, orang tua hendaknya memperbanyak amal shaleh karena
pengaruhnya akan terlihat pada anak. Bukti pengaruh ini dapat dilihat
dari kisah nabi Khidhir yang menegakkan tembok dengan suka rela tanpa
meminta upah, sehingga Musa menanyakan alasan mengapa ia tidak mau
mengambil upah. Allah berfirman memberitakan perkataan nabi Khidhir,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي
الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا
صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا
كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ
تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢)
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim
di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka
berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu
menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah
aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah
tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” (QS. Al Kahfi: 82)
Dalam menafsirkan firman Allah, “dan kedua orang tuanya adalah orang shalih”
Ibnu Katsir berkata: “Ayat diatas menjadi dalil bahwa keshalihan
seseorang berpengaruh kepada anak cucunya di dunia dan akhirat, berkat
ketaatannya dan syafaatnya kepada mereka maka mereka terangkat
derajatnya di surga agar kedua orangtuanya senang dan berbahagia
sebagaimana yang yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan as sunnah.”
Allah telah memerintahkan kepada kedua orangtua yang khawatir
terhadap masa depan anak–anaknya agar selalu bertakwa, beramal shalih,
beramar ma’ruf nahi mungkar, dan berbagai macam amal ketaatan lainnya.
Sehingga dengan amalan-amalan itu, Allah akan menjaga anak cucunya.
Allah berfirman,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ
ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٩)
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar.” (An Nisa: 9)
Dari said bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas berkata: “Allah mengangkat
derajat anak cucu seorang mukmin setara dengannya, meskipun amal
perbuatan anak cucunya di bawahnya, agar kedua orangtuanya tenang dan
bahagia. Kemudian beliau membaca firman Allah yang artinya, “Dan
orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami
tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia
terikat dengan apa yang dikerjakannya.” ( Ath Thuur : 21) [1]
Karena itu bertakwalah dan beramal shalihlah agar doa untuk kebaikan anak Anda diterima!
Diceritakan bahwa sebagian orang-orang salaf dahulu pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, aku akan membaguskan shalatku agar engkau mendapat kebaikan.”
Sebagian ulama salaf menyatakan bahwa makna ucapan itu adalah aku akan
memperbanyak shalatku dan beroda kepada Allah untuk kebaikanmu.
Kedua orangtua bila membaca Al-Qur’an, surat Al Baqarah dan surat-surat Al Mu’awwidzat
(Al-Ikhlash, Al Falaq, An Naas), maka para malaikat akan turun
mendengarnya dan setan-setan akan lari. Tidak diragukan bahwa turunnya
malaikat membawa ketenangan dan rahmat. Dan jelas ini member pengaruh
baik terhadap anak dan keselamatan mereka.
Tetapi bila Al-Qur’an ditinggalkan, dan orangtua lalai dari dzikir,
ketika itu setan-setan akan turun dan memerangi rumah yang tidak ada
bacaan Al-Qur’an, penuh dengan musik, alat-alat musik, dan
gambar-gambar haram. Kondisi seperti ini jelas akan berpengaruh jelek
terhadap anak-anak dan mendorong mereka berbuat maksiat dan kerusakan.
Sehingga dari itu semua, cara yang paling tepat untuk meluruskan
anak-anak harus dimulai dengan melakukan perubahan sikap dan perilaku
dari kedua orang tua. Kita harus menanamkan komitmen dan berpegang
teguh terhadap syariat Allah pada diri kita dan anak-anak. Serta kita
harus senantiasa berbuat baik kepada orangtua kita serta menjauhi sikap
durhaka kepadanya, agar anak-anak kita nantinya menjadi anak yang
berbakti, selamat dari dosa durhaka kepada kedua orang tua dan murka
Allah. Karena anak-anak saat ini adalah orang tua dimasa yang akan
datang dan suatu ketika ia akan merasakan hal yang sama ketika
menginjak masa tua.
Selanjutnya, hal yang tidak boleh kita lupakan adalah senantiasa
berdoa, mengharap pertolongan kepada Allah dalam mendidik anak-anak
kita, janganlah kita sombong terhadap kemampuan yang kita miliki.
Karena hidayah itu berada ditangan Allah dan Allahlah yang membolak
balikkan hati hamba-hambaNya.
Catatan redaksi:
[1] Lafal hadits tersebut berbunyi,
[1] Lafal hadits tersebut berbunyi,
إِنَّ اللهَ لَيَرْفعُ ذُرِّيَّةَ المُؤمِنِ إِلَيْهِ فِي دَرَجَتِهِ وَ إِنْ كَانُوا دُونَهُ فِي العَمَل ، لِتُقرَّ
بِهِم عَينُهُ ، ثُمَّ قَرَأَ : وَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَ اتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ
بِهِم عَينُهُ ، ثُمَّ قَرَأَ : وَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَ اتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bazzar (Hal. 221), Ibnu Adi (I/270)
dan Al-Baghawi dalam At-Tafsir (8/82) dari Qais bin Rabi’ dari Amr bin
Murrah dari Said bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas dan diangkat sampai kepada
Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Syaikh Albani berkata ,“Hadits ini
mauquf namun dihukumi marfu’’ (sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi
wasallam-red) dan hadits ini memiliki sanad yang baik”.(As-Silsilah
Ash-Shahihah no.2490, Al-Maktabah As-Syamilah, red)
Referensi :
- Tarbiyatul Abna’, Syaikh Musthafa Al Adawi, penerbit Media Hidayah
- Pengaruh Lingkungan Terhadap pendidikan Anak, Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin, Majalah As Sunnah Edisi 03/Tahun XII
Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (3/3): Beberapa Contoh Cara Mendidik Anak yang Nakal
Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[1]
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
Bolehkah memukul anak yang nakal untuk mendidiknya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]
Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.
Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.
Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[9]
Cara-cara menghukum anak yang tidak dibenarkan dalam Islam[10]
Di antara cara tersebut adalah:
1. Memukul wajah
Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]
2. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas
Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]
3. Memukul dalam keadaan sangat marah
Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.
Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]
4. Bersikap terlalu keras dan kasar
Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”[14]
5. Menampakkan kemarahan yang sangat
Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[15]
Penutup
Demikianlah bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan akhlak pada anak, dan tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama dalam hal ini.
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk kebaikan hidup kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 9 Dzulhijjah 1431 H,Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A
Bolehkah Memukul Anak?
Keutamaan berlemahlembut
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَيَكُوْنُ فِيْ شَيْئٍ إِلَّا زَانَهُ وَمَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْئٍ إِلَّا شَانَهُ
“Tidaklah kelemahlembutan ada pada sesuatu kecuali akan
menghiasainya dan tidaklah dicabut darinya melainkan akan memperjeleknya
” (HR. Bukhari 2594 dair ‘Aisyah radhiallahu’anha)Sabda beliau shallallahu’aaihiw asallam,
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقَ يُحْرَمُ الخَيْر
“Siapa saja yang dihalangi dari kelemahlembutan maka dihalangi pula dari kebaikan” (HR. Muslim 2542 dari Jabir bin Abdullah radhiallahu’anhu)Juga sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam,
إِنَّهُ مَنْ أُعْطِيَ حَظُّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ أُعْطِيَ حَظُّهُ مِنْ خَيْرِالدُّنْيَاوَالأَخِرَة
“Sungguh orang yang telah diberi bagian kelembutan berarti ia telah diberi bagian kebikan dunia dan akhirat” (HR. Ahmad 6/159 dari ‘Aisyah radhiallahu’anha)Dan beliau bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِأَهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا أَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ
“Jika Allah menginginkan kebaikan bagi sebuah anggota keluarga maka Dia akan memasukkan kelembutan kepada mereka” (HR. Ahmad 6/71, 6/104-105, hadits shahih)Sabda beliau,
إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan.” (HR. Muslim 2593 dari ‘Aisyah secara marfu’)Nasehat lebih baik daripada memukul
Selama dalam perbaikan tidak memerlukan pemukulan maka janganlah memukul. Karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam sendiri bila harus memilih antara dua pilihan maka beliau memilih yang paling mudah selama bukan dosa. (HR. Bukhari 3560 dan Muslim 2327 dari ‘Aisyah secara marfu’)
Telah diriwayatkan pula bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya sama sekali, tidak kepada istri beliau ataupun pembantu beliau. Beliau hanya memukul ketika berperang dijalan Allah. (HR. Muslim 2328)
Maka kita sebaiknya menggunakan kata-kata nasehat jika ingin memperbaiki perilaku anak atau dengan menggunakan dorongan dan motivasi.
Bila kata-kata yang baik tidak berpengaruh maka kita gunakan kata-kata yang berisi teguran dan ancaman sesuai dengan kesalahan anak. Bila juga tidak bermanfaat maka saatnya memukul. Untuk itu kondisi tabiat anak berbeda-beda.
Diantara mereka ada yang cukup dengan isyarat mata untuk menghukum dan menegurnya. Isyarat mata ini memberikan pengaruh yang kuat pada dirinya dan menjadi sebab berhenti dari kesalahan yang ia lakukan.
Diantara mereka ada yang jika Anda membuang muka darinya maka dia segera paham maksud Anda dan berhenti dari kesalahannya.
Diantara mereka ada yang berubah dengan kata-kata baik. Maka gunakan kata-kata yang baik untuk anak yang seperti ini.
Dan diantara mereka tidaka ada yang membuatnya sadar kecuali harus dengan pukulan dan perlakukan keras. Maka untuk anak tipe seperti inilah kita lakukan pemukulan dan berlaku keras. Akan tetapi sesuai dengan kebutuhan saja serta tidak menjadikannya kebiasaan. Seperti halnya seorang dokter yang memberi suntikan kepada pasiennya walaupun suntikan itu menyakitkan akan tetapi suntikan itu sebatas kadar penyakitnya saja.
Orangtua diperblehkan bersikap keras kepada anak bila anak malas beribadah
Adapun dalil-dalil lainnya yang menunjukkan bolehnya memukul anak bila diperlukan karena anak tidak taat dalam hal yang ma’ruf atau karena mengabaikan perintah kebaikan atau berbuat maksiat, dzalim secara terus menerus diantaranya adalah
• Firman Allah Ta’ala,
وَاللهُ لَايُحِبُّ الفَسَادَ
“Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. AL-Baqarah: 205)• Firman Allah Ta’ala,
فَلَوْلَا كَانَ مِنَ القُرُوْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ أُولُوا بَقِيَّةٍ
يَنْهَوْنَ عَنِ الفَسَادِ فِى الأَرْضِ إِلَّا قَلِيْلاً مِمّنْ
أنْجَيْنَا مِنْهُم
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang
yang mempunyai keutamaan melarang dari mengerjakan kerusakan di bumi.
Kecuai sebagian kecil diantara orang-orang yang telah Kami selamatkan
diantara mereka.” (QS. Hud: 16)Bila kerusakan dan kedzaliman yang timbul dari ulah si anak tidak dapat hilang kecuali dengan pemukulan maka saat itu juga dia harus dupukul.
• Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Perintahkanlah anakmu shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia karena (meninggalkan)nya pada usia 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.”(HR. Abu Daud no 495 dengan sanad hasan)
• Sikap tegas Abdullah bin Umar kepada anaknya Bilal bin Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma
Dari abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘Jangan kamu cegah istrimu kemasjid jika mereka izin kepadamu keluar menuju kesana.’”
Kemudian Bilal bin Abdullah bin Umar berkata, “Demi Allah aku akan mencegah mereka.”
Ibnu Umar menoleh kepadanya lalu mencela dengan celaan yang belum pernah aku (perowi) dengar sebelumnya dan berkata, “Aku kabarkan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan kamu katakan,’Demi Allah aku akan cegah!.’”
• Tatkala melihat kecerdasan dan keunggulan Ikrimah yang saat itu masih kecil sehingga senang bermain dan lari-lari maka Ibnu Abbas mengikatnya dengan tali agar mau memperlajari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Ikrimah berkata, “Ibnu Abbas pernah merantai kakiku ketika sedang mengajariku Al Qur’an dan Sunnah.” Dalam riwayat lain, “Ketika sedang mengajariku AlQur’an dan ilmu waris.”
Lantas bagaimana kondisi Ikrimah setelah mendapat hukuman itu? Dia menjadi salah seorang ulama besar ahli hadits yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dari Ibnu Abbas dan menjadi ahli tafsir yang handal.
• Begitujuga sikap tegas Abu Bakar Ash Shidiq kepada ‘Aisyah radhiallahu’anhuma. Abu Bakar memukul putrinya karena menyebabkan pasukan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tertunda keberangkatannya dan karenanya sahabat lain mengeluh. Dan kisah lainnya sangatlah banyak sekali untuk disebutkan.
Larangan memukul wajah
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Jika salah seorang diantara kalian memukul saudaranya maka hendaknya dia menghindari memukul wajah.” (HR. Muslim 2616 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu secara marfu’).
***
Diringkas dari buku “Bagaimana Nabi shallallahu’alaihi wasallam Mendidik Anak” (Terjemahan dari kitab Tarbiyatul Aulad), Syaikh Musthafa Al Adawi, Media Hidayah.
Artikel Muslimah.or.id
Mengajarkan Sholat Pada Anak
August 27, 2009. Dikirim admin dalam
Ibu dan Anak,
Keluarga,
Sholat | 5
komentar
*diketik ulang oleh Humaira Ummu
Abdillah dari Majalah al-Mawaddah, Edisi ke-12 Tahun Ke-2,Rajab 1430 H/ Juli
2009, Rubrik: Yaa Bunayya, Oleh : Ustadz Abdur Rohman al-Buthoni, halaman :
34-36*
Menurut syari’at Islam yang mulia,
anak-anak tidak dikenai beban syari’at selagi dia belum baligh. Namun mereka
harus dididik dan dilatih sejak masa anak-anak agar menjadi terbiasa melakukan
syari’at ketika telah dewasa.Apabila syari’at memerintahkan para orang tua dan
wali agar memerintah anak-anak mereka untuk menunaikan sholat, maka wajib bagi
orang tua dan para murobbi untuk mengajarkan kepada mereka perihal thoharoh
sesuai dengan thoharohnya Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, menjelaskan
kepada mereka sifat wudhu Nabi shalallahu alaihi wassalam, syarat sah, rukun-rukunnya
dan hal-hal yang membatalkannya.
Demikian pula harus mengajarkan tata
cara sholat sesuai degan sholat Rasulullah shalallahu alaihi wassalam karena
sabda beliau:
“Tunaikanlah sholat seperti kalian
melihat aku sholat”.1
Hendaknya anak diajari teori
sekaligus praktiknya dengan diajak memperhatikan tata cara berwudhu dan sholat
bapak ibunya atau mengajaknya melakukan sholat dan berdiri di samping orang
tuanya untuk mengambil secara langsung tata cara sholat yang benar.
Ini mengingatkan orang tua, para
murobbi dan para guru TK dan SD agar mengajarkan do’a dan dzikir-dzikir dalam
wudhu dan sholat sebelum yang lainnya. Hal ini perlu kita perhatikan sebab
sebagian guru ada yang lebih mendahulukan do’a dan dzikir yang lain, seperti
do’a berpakaian atau yang lainnya, daripada do’a dan dzikir dalam wudhu dan
sholat.
Sistem pengajaran seperti itu tentu
salah bila ditinjau dari sisi ini, sebab syari’at belum memerintahkannya. Dan
jikalau anak mengamalkannya pun tidak terlalu berarti bila dibandingkan dengan
do’a dalam wudhu dan sholat yang dituntut untuk dihafal dan diamalkan setelah
mencapai usia 7 tahun, sebagaimana anjuran Rasulullah shallahu alaihi wassalam.
Bila bisa didapat kedua-duanya tentu lebih baik.
POKOK – POKOK PENGAJARAN SHOLAT
Pokok-pokok pengajaran yang harus
diberikan kepada anak berkaitan dengan masalah sholat adalah sebagai berikut:
-Ilmu tentang syarat sahnya sholat,
rukun, wajib dan sunnah-sunnahnya.
-Tata cara pelaksanaanya dari
takbirotul ihrom hingga salam, meliputi gerakan-gerakannya, bacaan dan
dzikir-dzikirnya, jumlah gerakan atau jumlah bacaan dan dzikir.
-Sifat-sifat gerakan, seperti sifat
tangan atau jari-jari tangan ketika takbirotul ihrom atau ketika posisi yang
lainnya, apakah dengan menggenggam jari-jari atau dengan membuka dan rapat,
ataukah membuka dengan merenggangkan jari-jari lurus ke atas atau melengkung ke
bawah.
-Sifat bacaannya, antara yang sir
dan yang jahr, juga panjang pendeknya suatu gerakan dan bacaan, seperti gerakan
tangan ketika takbirotul ihrom apakah perlahan-lahan hingga beberapa menit baru
sampai ke bahu dan daun telinga ataukah bagaimana. Demikian juga dengan
bacaan-bacaannya, misalnya apakah melafazhkan takbir dengan bacaan panjang
seperti “Allooooohuuuuu Akbaaaaar” ataukah tidak.
-Mengajarkan yang shohih dari
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan meninggalkan yang tidak shohih.
-Mengajarkan nama-nama sholat dan
waktu-waktunya serta bilangan roka’atnya.
-Mengajarkan tata cara berpakaian
yang wajar di dalam sholat.
-Menanamkan akidah ( keyakinan )
bahwa orang yang sholat itu sedang menghadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka,
apabila kita menghadap kepala desa atau orang kaya saja tidak boleh
bermain-main, tentunya menghadap Alloh, Sang Penguasa langit dan bumi dan
seluruh alam semesta, lebih sangat tidak layak untuk bermain-main.
-Mengajarkan syarat syahnya sholat
yang paling utama, yaitu thoharoh dan berwudhu, hal ini meliputi:
a. Tata cara membersihkan najis
tinja dan kencing sehingga benar-benar suci dan tidak membawa najis dalam
sholat. Mengenalkan kepada mereka benda-benda yang najis agar mereka jauhi,
terutama ketika sholat.
b. Mengajarkan tata cara berwudhu,
dzikir sebelum dan sesudahnya, tata cara penggunaan air yang sesuai dengan
sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, tidak boleh boros sekalipun
banyak air, urut-urutannya dan bilangan-bilangannya.
c. Tata cara membasuh, apakah
membasuh dengan menyiramkan air ataukah cukup dengan mengusap tanpa menyiramkan
air. Juga menjelaskan tentang sifat membasuh dan mengusap.
d. Mengajarkan kepada mereka
anggota-anggota wudhu dan hal-hal yang berkaitan dengannya, apakah yang penting
anggota wudhu tersebut terkena air sehingga cukup dicelupkan ke dalam air
ataukah harus diusap da diratakan dengan tangan.
e. Mengajarkan kepada mereka
batas-baras anggota wudhu, dari mana hingga ke mana.
f. Mengajarkan kepada mereka
tata cara adzan dan iqomat, lafazh-lafazhnya dan bagaimana menjawab jika mendengar
adzan dan do’a sesudah adzan bagi yang mendengar. Juga tentang tata cara
melafazhkannya, yaitu tidak boleh berlebihan dengan memanjangkan lafazh yang
seharusnya pendek atau sebaliknya, atau lafazh yang panjang dilebihkan dari
kadarnya sehingga terlalu panjang, atau dengan merusak lafazah, seperti “Allohu
Akbar” menjadi “Aulohuu Akbaruu”.
g. Mengajarkan kepada mereka tentang
batas-batas aurat dalam sholat, sebab aurat itu ada 2: aurat yang
berkaitan dengan pandangan mata dan aurat yang berkaitan dengan
hak Alloh. Atau dengan istilah lain, berbeda antara aurat di luar
sholat dengan aurat di dalam sholat. Contoh, anak kecil yang belum baligh tidak
ada auratnya sehubungan dengan pandangan mata, meski begitu ia tidak boleh
menunaikan sholat dalam keadaan telanjang. Nabi shalallahu alaihi wassalam
bersabda:
“Janganlah salah seorang diantara
kalian melakukan sholat dengan mengenakan satu pakaian saja, yang ( dengan
begitu ) kedua pundaknya tidak tertutup”.2
Sabda Rasulullah shalallahu alaihi
wassalam lainnya:
“Alloh tidak menerima sholat wanita
yang telah baligh kecuali dengan penutup kepala”.3
PENTINGNYA KETELADANAN
Semua orang sepakat bahwa mengajar
dengan praktik dan memberi contoh secara langsung jauh lebih berpengaruh
positif pada pemahaman anak daripada hanya teori semata. Karena itulah
hendaknya para murobbi tidak lalai dari manhaj ta’lim ( metode pengajaran ) ini
sebab inilah yang dicontohkan Nabi shalallahu alaihi wassalam dan para
sahabatnya.
Suatu ketika, Ustman bin Affan
radiyallahu anhu meminta air wudhu dan mengajak para sahabat untuk
memperhatikan cara wudhu beliau dari awal hingga akhir lalu berkata,
“Seperti inilah aku melihat Nabi shalallahu alaihi wassalam berwudhu”.
Dalam kisah yang lain, salah seorang
sahabat pernah mempraktikkan sholat dari awal hingga akhir dihadapan para
sahabat yang lain, seraya mengatakan, “Kemarilah kalian! Akan aku
perlihatkan kepada kalian sifat sholat Nabi shalallahu alaihi wassalam”.
Rosulullah shalallahu alaihi
wassalam terkadang juga melakukan sholat ( sebagai imam ) dengan berdiri dan
ruku’ diatas mimbar untuk memperlihatkan sholatnya kepada para sahabat, beliau
mengatakan, “Aku melakukan ini agar kalian mengikutiku dan mengetahui
sholatku”.
Contoh metode pengajaran seperti ini
sangat sering diterapkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan para
sahabatnya. Demikian itu karena teori semata sulit untuk dipahami dan
membutuhkan waktu yang lama bahkan mudah terlupakan, berbeda dengan apa yang
dialami dan dilihat secara langsung. Ini berarti orang tua dan para pendidik
tidak cukup hanya menyediakan buku-buku bacaan seputar wudhu dan sholat atau
hanya memerintahkan anak untuk melakukan sholat, namun mereka juga dituntut
untuk memberikan keteladanan berupa praktik amali di hadapan anak-anak mereka
seperti yang dicontohkan Rosululloh shalallahu alaihi wassalam, sebaik-baik
pendidik, dan para sahabat beliau.
MENGAJARKAN SHOLAT YANG BENAR
Para pendidik dan orang tua
harus mengajarkan sholat yang benar kepada anak-anak mereka. Sholat yang
benar artinya sholat yang sesuai dengan sholat Rosululloh shalallahu alaihi
wassalam, sebagaimana sabda beliau diatas. Oleh karena itu, sebelum melakukan
pengajaran, para pendidik harus memiliki ilmu tentang sifat sholat Nabi
shalallahu alaihi wassalam dan tidak cukup dengan mengikuti sholat kebanyakan
orang zaman sekarang, sebab diantara mereka masih banyak yang melakukan bid’ah
dalam sholat, baik dengan mengurangi atau menambahi sebagaian dari sholat mereka
yang tidak ada contohnya dari Rosululloh shalallahu alaihi wassalam. Padahal
sholat merupakan amal yang paling utama yang pelakunya sangat berharap agar
sholatnya bisa diterima oleh Alloh, sementara Alloh tidak akan menerima sebuah
amal kecuali yang ikhlas karena Alloh semata dan sesuai dengan sunnah (
petunjuk / contoh ) dari Rosululloh shalallahu alaihi wassalam.
TIDAK MENDIAMKAN KESALAHAN
Sebagian orang beranggapan bahwa
tidak mengapa membiarkan anak sholat dalam keadaan tidak benar, toh juga masih
anak-anak, misalnya membiarkan anak sholat tanpa berwudhu atau berwudhu hanya
dengan membasuh telapak tangan, wajah dan kaki saja dengan alasan bahwa anak
masih kecil dan belum baligh. Anggapan ini jelas salah. Perlu diketahui bahwa
meskipun hukum-hukum syari’at belum berlaku bagi anak, namun Allah Subhanahu
Wata’ala memerintahkan dan memberi beban kepada para wali untuk memberlakukan
hukum-hukum syari’at kepada anak-anak mereka. Anggapan yang salah ini jelas
bertentangan dengan perintah Rosululloh shalallahu alaihi wassalam:
“Perintahkan anak-anak kalian untuk
menunaikan sholat ketika mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika
meninggalkannya ketika mereka telah berusia 10 tahun”.4
Maksud dari perintah Rosululloh
tersebut adalah agar para orang tua menyuruh anak-anaknya untuk thoharoh dan
berwudhu dengan sempurna, berpakaian menutup aurat dan pundak, berdiri
menghadap kiblat, di tempat yang tidak haram untuk sholat di dalamnya,
melakukan tata cara sholat dari takbirotul ihrom hingga salam lengkap dengan
rukun-rukunnya, fardhu dan sunnah-sunnahnya.
Rosululloh pernah melakukan sholat
malam, lalu Abdulloh bin Abbas datang mengikuti dan berdiri di sebelah kiri
beliau. Maka beliau shalallahu alaihi wassalam memutarnya dari arah kiri lewat
belakang kea rah kanan beliau5
Pernah salah seorang Arab Badui
datang ke masjid lalu melakukan sholat. Setelah selesai dari sholatnya,
Rosululloh shalallahu alaihi wassalam mengatakan,
“Ulangi sholatmu, karena
sesungguhnya engkau belum sholat”. Maka orang tersebut mengulangi sholatnya
seperti sholatnya yang semula hingga 3 kali, sampai akhirnya orang itu berkata,
“Wahai Rosululloh, ajarilah aku sholat, sebab aku tidak bisa sholat kecuali
dengan cara yang seperti ini ( yakni sholat dengan gerakan yang sangat cepat,
tanpa thuma’ninah ). Maka Rosululloh shalallahu alaihi wassalam mengajarinya
sholat seraya menyampaikan bahwa wajib baginya untuk thuma’ninah pada setiap
gerakan sholat.
Rosululloh shalallahu alaihi
wassalam menganggap sholat orang ini batal karena meninggalkan salah satu rukun
sholat, yaitu thuma’ninah. Sholat yang dianggap batal oleh Nabi shalallahu
alaihi wassalam yang dilakukan oleh orang ini banyak sekali dilakukan oleh
anak-anak.6 Sehingga kewajiban para orang tua dan
para pendidik adalah membenarkan sholat mereka yang masih salah ini.
- See more at:
http://jilbab.or.id/archives/778-cara-mengajarkan-shalat-pada-anak/#sthash.iLANxvOD.dpuf
HUKUM PD ( pede)
Hukum PD (Percaya Diri), Fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim.
87- س:- قول من قال: تجب الثقة بالنفس؟
Pertanyaan ke-87 adalah tentang hukum perkataan yang mengatakan bahwa percaya diri itu adalah sebuah keharusan?
ج: لا تجب ولا تجوز الثقة بالنفس
Jawaban Syaikh Muhammad bin Ibrahim,“Percaya diri itu tidaklah wajib, bahkan tidak boleh (baca:haram).
في الحديث: وَلاَ تَكِلْني إلى نَفْسِيْ طرْفَةَ عَيْن.1
Dalam sebuah doa yang terdapat dalam hadits disebutkan, “Ya Allah, janganlah Kau serahkan diriku kepada diriku sendiri meski hanya sekejap mata” (HR Abu Daud, Ahmad, Ibnu Hibban dan dinilai hasan oleh al Albani dalam Sahih al Jami no 3382).
من يقوله؟! أَخشى أَن هذه غلطة منك؟! لا أَظن أَن انسانًا له عقل يقول ذلك، فضلاً عن العلم.….تقرير الحموية
Siapa yang mengatakan wajibnya percaya diri? Saya khawatir Anda salah
dengar dalam hal ini. Aku tidak menyangka ada seorang yang berakal
yang mengucapkan hal tersebut, terlebih lagi orang yang berilmu” (Tanya
Jawab dalam kajian kitab al Hamawiyyah)
(1) وجاء في حديث رواه أحمد: واشهد أنك ان تكلني إلى نفسي تكلني إلى ضيعة وعورة وذنب وخطيئة واني ان أثق إلا برحمتك
Catatan Kaki:Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan, “Dan aku bersaksi sesungguhnya jika Kau serahkan diriku kepada diriku sendiri berarti Kau serahkan diriku kepada ketersia-siaan, memalukan, dosa dan kesalahan. Sesungguhnya aku hanya percaya kepada rahmat-Mu”
Sumber: Fatawa wa Rasai Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh 1/50, Maktabah Syamilah.
Catatan:
Tentang hukum PeDe perlu kita rinci:
a. Jika yang dimaksud dengan PD adalah tidak minder, berani tampil di depan banyak orang dan hal-hal yang semisal maka tentu tidak mengapa.
b. Jika yang dimaksud dengan PD adalah mengandalkan kemampuan diri sendiri dan tidak bergantung kepada Allah maka jelas hukumnya haram.
Artikel www.ustadzaris.com
Dipublikasikan oleh: KonsultasiSyariah.com
Matikan TV Dan Berbahagialah (2-Habis)
Sabar.
Ah…, rasanya kata ini yang kerap kali hilang ketika kita memerintahkan anak‐anak
kita untuk mendirikan shalat. Karena keinginan yang kuat agar mereka menjadi
anak‐anak shalih yang mendoakan, kita haruskan
mereka melakukan shalat bahkan ketika usianya belum genap empat tahun. Karena
besarnya tekad agar mereka tidak mengabaikan shalat, kita memarahi anak‐anak
dengan ucapan dan cubitan atas sebab kurang seriusnya mereka shalat, padahal
usianya baru saja memasuki lima tahun. Atau…, kita mudah marah kepada mereka
disebabkan kita tidak mau bersusah‐payah berusaha?
Kita ingin memperoleh hasil yang cepat dengan usaha yang sedikit.
Apa
yang membuat para orangtua semakin menipis kesabarannya? Selain karena lemahnya
tujuan dan tidak adanya visi ke depan dalam mendidik anak, banyaknya waktu
menonton TV juga sangat berpengaruh. Selama menonton TV, otak kita cenderung
pasif. Ron Kauffman, pendiri situs TurnOffYourTV.com, menunjukkan bahwa selama
menonton TV pikiran dan badan kita bersifat pasif (berada pada kondisi alfa).
Tidak siap untuk berpikir. Jika keadaan ini terus berlanjut, orangtua akan cenderung
bersikap dan bertindak secara reaktif. Bukan responsif. Mereka mudah marah
ketika mendapati anak melakukan apa yang dirasa mengganggu. Mereka juga mudah
bertindak kasar jika anak tidak segera melakukan apa yang diinginkan orangtua.
Apalagi jika sebelumnya mereka sudah memiliki kecenderungantemperamental,
semakin cepatlah mereka naik darah.
Di
luar itu, secara alamiah kita –anak‐anak maupun
dewasa—cenderung tidak siap melakukan pekerjaan lain secara tiba‐tiba
jika sedang asyik melakukan yang lain. Kalau Anda sedang asyik nonton
pertandingan sepak bola, telepon dari bos Anda pun bisa terasa sangat
mengganggu. Apalagi kalau gangguan itu berupa permintaan istri untuk
membersihkan kamar mandi, keasyikan menonton atraksi kiper menepis bola bisa
membuat emosi Anda mendidih. Apatah lagi jika gangguan itu datang dari rengekan
anak Anda yang minta diantar pipis…!
Jika
menonton TV sudah menjadi bagian hidup orangtua yang menyita waktu berjam‐jam
setiap harinya, pola perilaku yang reaktif, impulsif dan emosional itu lama‐lama
menjadi karakter pengasuhan. Semakin tinggi tingkat keasyikan orangtua menonton
TV, semakin tajam ”kepekaan” mereka terhadap perilaku anak yang ”mengganggu”
dan ”membangkang”. Akibatnya, semakin banyak keluh‐kesah,
kejengkelan dan kemarahan yang meluap kepada anak‐anak tak berdosa
itu. Lebih menyedihkan lagi kalau lingkaran negatif menumbuhkan keyakinan bahwa
anak‐anak (sekarang) memang susah diatur.
MATIKAN TV ANDA DAN BERBAHAGIALAH
Satu
lagi masalah yang sering dihadapi orangtua: merasa tidak ada waktu untuk
mendampingi anak. Kesibukan selalu merupakan alasan klasik yang membenarkan
hampir semua kesalahan kita. Kita tidak punya waktu untuk anak. Tetapi kita
memiliki kesempatan untuk menonton TV begitu tiba di rumah, karena orang sibuk memerlukan
hiburan. Sebuah alasan yang sangat masuk akal ketika istri tak lagi cukup untuk
menghibur hati.
Nah.
Apakah
tidak ada jalan untuk membalik keadaan? Matikan TV dan hidupkan hati Anda.
Kalau Anda merasa benar‐benar memerlukan TV, susun jadwalnya. Pastikan
Anda menonton, misalnya maksimal satu jam sehari semalam atau setengah dari
itu, dan tentukan Anda hanya melihat tayangan yang benar‐benar
bergizi. Bukan cerita-cerita kosong yang tidak berarti.
Begitu
Anda mematikan TV dan mengalihkan hiburan dalam bentuk bercanda dengan anak‐istri,
insya Allah Anda akan mendapatkan beberapa keuntungan ganda sekaligus. Anda
mendapatkan waktu dan kesempatan untuk bercanda maupun bercakap-cakap –bukan
sekedar berbicara dengan orang‐orang yang Anda
cintai; Anda juga menabung kesabaran; sekaligus Anda membangun kedekatan hati
dengan keluarga.
Al‐Qur’an
membedakan berbicara dengan bercakap‐cakap (ngobrol).
Berbicara bersifat satu arah, sedangkan ngobrol bersifat mengalir dimana kita
saling mengajukan pertanyaan, tapi bukan berupa tanya‐jawab.
Ngobrol membuat hati semakin dekat satu sama lain. Ngobrol juga menjadikan
perasaan kita lebih hidup. Tentu saja, apa yang kita obrolkan juga berpengaruh.
Di
dalam surat Ash‐Shaaffaat, Allah ’Azza wa Jalla menunjukkan
bahwa ngobrol merupakan salah satu kenikmatan surga. Allah Ta’ala berfirman,
”Di sisi mereka ada bidadari‐bidadari yang tidak
liar pandangannya dan jelita matanya, seakan akan mereka adalah telur (burung
unta) yang tersimpan dengan baik. Lalu sebagian mereka menghadap kepada
sebagian yang lain sambil bercakap‐cakap.” ( Ash‐Shaaffaat
[37]: 48‐50).
Ya,
bercakap‐cakap dengan obrolan yang baik. Inilah
kenikmatan surga yang bisa kita hadirkan di rumah kita tanpa harus mati
terlebih dahulu. Pada saat ngobrol, kita bisa memberi dukungan sekaligus
dorongan positif bagi anak‐anak kita. Ini
merupakan salah satu yang sangat mereka perlukan untuk mengembangkan sense of
competence (perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi). Dukungan dan
doronganpositif yang kita berikan di saat yang tepat, sangat berperan untuk
membangun diri dan percaya diri mereka. Tetapi ini sulit sekali kita berikan
kepada mereka jika kesabaran tidak ada, waktu tidak punya dan keakraban tidak
terjalin. Kita berbicara kepada mereka, tetapi tidak berkomunikasi. Kita
mendengar suara mereka, tetapi tidak mendengarkan perkataan dan isi hatinya.
Sebabnya, otak kita sudah penat karena beban kerja dan tayangan TV yang menyita
energi otak kita. oleh: M.Fauzil Adhim
Langganan:
Postingan (Atom)