Tulisan ini kami dapatkan di group Sunni Home Schooling di facebook. Isinya bagi saya pribadi luar biasa karena
menyingkirkan rasa khawatir karena belajar di rumah itu memang berbeda
dengan belajar di sekolah. Dari tulisan ini, kita juga belajar bahwa
terkadang kita (untuk yang menerapkan metode homeschooling) masih
terseret dengan pola pikir cara belajar di sekolah. Tak banyak
berkata-kata, mari kita baca artikel berikut.
“When you teach less, the children will learn more” – John Holtby
Oleh: Wiwiet Mardiati on Saturday, December 31, 2011 at 10:14pm
Better Late Than Early
Saya mengenal homeschooling tahun 2006, saat anak saya, Atala, masih berusia 18 bulan. Perkenalan dengan jargon “Better Late Than Early”
dari Raymond Moore, mempengaruhi keputusan saya untuk menunda sekolah
Atala, yaitu tidak masuk preschool dan TK. Saya pribadi setuju dengan
pendapat bahwa meski banyak preschool dan TK yang keliatannya santai,
“tidak berat”, dan hanya “main-main” saja, tapi tidak punya
“otoritas yang lebih tinggi” di usia dini untuk mendikte Atala melakukan
sesuatu itu cukup penting sebagai pondasi menumbuhkan rasa percaya diri
(self-confidence) dan membentuk paradigma (mindset)
baik ke kami, orangtuanya, maupun ke Atala sendiri, bahwa dia, bisa
belajar otodidak tentang apapun sejak dini.
Perkenalan dengan unschooling juga mengajariku bahwa yang terpenting di usia dini justru menumbuhkan rasa nyaman dan betah tinggal dirumah (dengan tidak keluar rumah terlalu dini) dan memberi kesempatan lebih panjang untuk saling mengenal (get connected) dengan anggota keluarga sendiri.
Saya mempercayai pendapat yang bilang, setelah itu, kebutuhan ke luar
rumah akan tumbuh secara alami dan dengan sendirinya, datang dari anak
itu sendiri, dimana kapan kebutuhan tersebut muncul, akan bervariasi
tiap anak.
Keputusan ini, 5 tahun kemudian, ternyata merupakan keputusan
berharga, karena saya menjadi “saksi mata” bagaimana Atala mampu
“mengupgrade” diri tanpa ada “yang mengajari”. Atala, telah membuktikan
sendiri setiap kata dari John Holt mengenai kemampuan anak untuk self-taught (mengajari diri sendiri) dan self-learning dengan
minimal intervensi. Dimulai dari bisa membaca dengan sendirinya di usia
4 tahun, hingga detik ini, Atala terus membuktikan diri bahwa anak-anak
bukanlah wadah kosong yang perlu diisi, tapi lebih mirip dibilang
seperti spons yang menyerap sekelilingnya secara alami tanpa perlu
“susah payah”.
Meski demikian, memasuki tahun 2012 ini, menjelang Atala memasuki 7
tahun (usia sekolah), rupanya “minimal intervensi” dari saya sebagai
orangtua, menumbuhkan rasa gelisah dan galau, karena merasa “tidak
ngapa-ngapain”, meski sudah jelas catatan belajar (portofolio) Atala
sudah membuktikan bahwa dirinya terus belajar tanpa ada halangan, dan
kemampuannya terus keliatan berkembang. Suami saya bahkan secara
implisit juga mengungkapkan kegalauan yang sama, karena saya tidak
keliatan “berbuat apa-apa” untuk Atala.
Obrolan dan diskusi dengan para Ibu muda yang memiliki anak dengan
rentang usia sama dengan anak saya (4-9 tahun) ternyata kurang lebih
sama. Paradigma kalau Anak tidak keliatan “terpaksa” dan “stress”
berarti tidak belajar, ternyata tetap menghantui. Paradigma kalau “guru”
(dalam hal ini orangtua) harus melakukan persiapan belajar seperti lesson plan,
materi belajar, kurikulum, dan jadwal belajar, supaya keliatan “serius
mengajar”, terus membayangi. Terutama kalau ada teman, keluarga, dan
pihak luar mulai bertanya-tanya (beneran ingin tahu karena tertarik,
bukan sekedar nanya), tentang jadwal belajar anak-anak homeschool.
Melalui note ini, saya ingin berbagi hasil “riset” saya tentang jadwal
belajar anak-anak homeschool. Harapan saya, teman-teman yang membaca
note ini bisa langsung mengklik link-link dibawah untuk mendapatkan
gambaran yang lebih baik.
Berapa jam sehari?
Secara otomatis, orangtua yang merencanakan homeschooling pertama kali akan mencoba untuk mengadaptasi jadwal belajar di sekolah ke rumahnya, karena hanya itulah
kita tahu bagaimana seharusnya “belajar” itu. Orangtua lain akan
membayangkan belajar dirumah akan mirip-mirip seperti les privat yang
biasanya dilakukan dirumah saat anaknya pulang sekolah.
Yang perlu diingat oleh orangtua, jadwal belajar di sekolah sebenarnya adalah persoalan “crowd-control”.
Dengan ratusan siswa dan puluhan guru, pihak manajemen tentu perlu
membuat sebuah jadwal stabil dan tidak mudah digoyahkan (baca: tidak
fleksibel). Yang perlu diingat lagi, 1 jam di kelas adalah waktu yang
lalu perlu dibagi oleh seorang guru dengan siswa yang berjumlah 25 – 40
anak.
Rumus yang pernah saya dapat, 1 jam (bahkan ada yang bilang 2 jam)
disekolah itu sama dengan 15 menit dirumah, dengan demikian waktu yang
diperlukan orangtua hanyalah 1/4 dari waktu yang diperlukan disekolah.
Artinya, 6-8 jam waktu belajar yang dihabiskan di sekolah, ternyata
dengan perlakuan one-on-one attettion (satu guru dengan 1-5
anak), hanyalah membutuhkan 1.5 – 2 jam dirumah. Dimana rumus itu
didapat? sederhananya, hanya dengan membandingkan dengan pembagian
perhatian guru di kelas tersebut yang berusaha mengajari 25 – 40 siswa
itu.
Dalam artikel “can a one hour homeschool be effective?”, kita perlu dulu membedakan antara “formal teaching” dan “learning opportunities“. Definisi 1 jam jadwal homeschooling = 1 jam instruksi formal (formal instruction), dimana orangtua “memberi tugas” kepada anak-anaknya. Sedangkan kesempatan belajar (learning opportunities) anak lebih luas dan tidak bisa di”batasi” oleh waktu, melalui field trip, proyek bersama, bermain games, bersosialisasi, dan lain sebagainya.
Untuk itu, saya berkesimpulan bahwa dengan banyaknya metode
homeschooling yang berbeda-beda, rupanya yang membedakan adalah
bagaimana menyikapi “formal teaching/instruction” tersebut dengan
orangtua yang menggunakan unschooling, akan menghilangkan “formal
teaching” sama sekali dan orangtua dengan metode school-at-home akan memanfaatkan kesempatan “formal teaching” tersebut dengan menggunakan kurikulum yang dipakai sekolah.
Kesimpulan yang lain, “formal teaching” dalam homeschooling
itu memerlukan waktu 15 menit hingga maksimal 2 jam setiap harinya. Hal
ini pun rupanya bukan untuk memastikan anak-anak “belajar”, tapi untuk
memastikan “ketenangan hati” sang orangtua.
Membagi waktu belajar
Lalu bagaimana membagi waktu belajar tersebut?? Dalam artikel “Homeschool Hours per-Grade“,
instruksi formal ini dimulai dari 15 menit/hari untuk TK dan
perlahan-lahan meningkat terus hingga 2 jam/hari saat memasuki SMA.
Artikel lain memberikan tips untuk membagi waktu per-pelajaran saja
sesuai kebutuhan dan karakter anak. Misalnya, 1 jam dalam sehari bisa
dibagi menjadi 15 menit per-mata pelajaran (4 mata pelajaran sehari), 30
menit per-mata pelajaran (2 mata pelajaran sehari), atau 1 mata
pelajaran perhari.
Mbak Ekawati sendiri yang mempunyai anak usia pra-remaja (11-13
tahun) pernah sharing ke saya kalau mata pelajaran logikanya akan
semakin sulit dipelajari ketika memasuki kelas III SD ke atas, sehingga
mungkin saja anak memerlukan “pendampingan” lebih banyak. Namun
demikian, dilain pihak, ternyata pengalaman Mbak Eka menunjukkan bahwa
semakin anaknya besar, waktu untuk “instruksi formal” dan “pendampingan”
ternyata bukannya makin meningkat (seperti yang ditulis di artikel
diatas), malah semakin menurun. Hal ini tentu saja karena anak semakin
bisa pintar melihat “learning opportunities” sebagai jalan
meng-upgrade diri, plus ditambah dengan “tombol belajar mandiri”
anak-anak yang sudah autopilot, sudah berjalan dengan sendirinya,
sehingga peran orangtua untuk “mewajibkan” anak belajar malah semakin
sedikit, karena “tombolnya” sudah jalan sendiri.
Kesimpulannya, “formal teaching” dalam kenyataannya bisa
semakin meningkat dengan maksimal 2 jam/hari, atau bahkan semakin hilang
sama sekali, tergantung tingkat self-learner dari anak tersebut.
Subyek (mata pelajaran) yang perlu di”instruksi”kan
Subyek apa yang perlu diajarkan ke anak 15 menit-1 jam per-hari itu?
Matt James, seorang dokter, homeschool 4 anak dan penulis buku “homeschooling odyssey” memberi tips untuk memberikan subyek yang kira-kira tidak bisa dikuasai anak secara alami.
Misalnya, grammar, spelling, dan aritmatika. Perlu diingat, yang
kira-kira tidak bisa “dikuasai” anak dengan sendirinya tentu
berbeda-beda. Misalnya, Ada anak yang bisa belajar matematika dengan
sendirinya, ada anak yang perlu bantuan.Bagaimana dengan agama? Jika memperlakukan agama sebagai “bagian dari keseharian” sepertinya yang pernah ditulis Pak Yudi Arianto dalam note-nya, maka “pelajaran agama” tidak perlu dimasukkan dalam “subyek” yang perlu diajarkan ke anak sebagai “formal instruction”. Keluarga lain mungkin perlu memasukkannya kedalam setiap subyek yang lain, sehingga jadi satu kesatuan. Mengenai hafalan alquran, misalnya sharing lain dari Mbak Ratu Vanda, hafalan al-quran dilakukan 10-15 menit sehari selesai solat magrib dengan cara menyenangkan ternyata cukup efektif.
Yang perlu jadi catatan adalah, anak belajar sebagaimana orang dewasa belajar, diantaranya yaitu, untuk meng-upgrade diri, memahami bagaimana dunia bekerja, untuk mengenal Tuhannya dan lingkungannya lebih baik. Belajar disini bukanlah belajar untuk menghadapi ujian/tes.
Waktu yang tersisa
Dengan menganggap “formal teaching” hanya memerlukan 15 menit hingga 2 jam sehari, lalu, seharian itu anak ngapain aja ya??Banyak orangtua yang selalu kuatir jika anak punya “waktu luang” yang “tersia-siakan”. Bagi anak yang suka kegiatan aktif, akan dianggap senangnya “main melulu”, sedangkan anak yang suka kegiatan pasif, akan dianggap senangnya “malas-malasan”.Di lain pihak, orangtua lain mungkin ada rasa kuatir anak akan merasa bosan.
Yang perlu diingat adalah, “membebaskan” anak untuk punya waktu luang artinya memberi kesempatan mereka untuk mengetahui dirinya sendiri, untuk punya pemikiran sendiri, dan untuk belajar melawan rasa bosan dengan punya kreativitas dan inovasi dari dirinya sendiri. Selain itu, mempunyai waktu “sendiri untuk diri sendiri” adalah skill yang sangat berguna bagi anak juga.
Tips berikut ini adalah dari Matt James yang saya kembangkan sedikit untuk membuat “waktu luang” menjadi lebih menarik adalah sebagai berikut:
- Membangun dan membentuk lingkungan rumah yang menarik untuk di eksplorasi, tergantung dari keputusan keluarga. Satu keluarga akan membangun perpustakaan keluarga dan memenuhi dengan koleksi-koleksi menarik, sementara yang lain akan merasa cukup dengan googling di internet. Satu keluarga memutuskan mematikan TV, sementara keluarga lain berlangganan TV kabel sebagai investasi. Satu keluarga memutuskan menggunakan gadget seperti komputer, iPad, playstation, dan lain sebagainya sebagai bagian dari keseharian belajar, sedangkan keluarga lain memutuskan untuk menunda mengenalkan anak ke gadget sampe waktu tertentu.
- Menghindari praktik-praktik yang akan membuat anak jadi enggan membaca.
- Dilibatkan dalam urusan rumah tangga (household chores) sebagai bagian dari lifeskill, seperti memasak, membersihkan rumah, dan lain sebagainya.
- ]Merencanakan kegiatan keluarga bersama dan field trip secara reguler sebagai bagian dari keseharian belajar
- ]Terlibat dalam kegiatan di lingkungan rumah, sebagai bagian dari volunteering/kerja sosial
- Mendaftar ke kursus/les yang berhubungan dengan hobi dan kesukaan anak.
- Merencanakan play dates (kencan bermain) dengan sesama Homeschooler
Happy homeschooling!! ^_^ http://ummiummi.com/membuat-jadwal-belajar-dalam-homeschooling#comment-21527
Tidak ada komentar:
Posting Komentar